BAB I
PENDAHULUAN
A. RASIONAL
Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hakikat negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan--atau nasionalisme--yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya. [Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998].
Komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan pada Pancasila dan Konstitusi Negara Indonesia perlu ditularkan secara terus menerus untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara historis, negara Indonesia telah diciptakan sebagai Negara Kesatuan dengan bentuk Republik.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. [Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945]
Dalam perkembangannya sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sampai dengan penghujung abad ke-20, rakyat Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa yang mengancam persatuannya. Untuk itulah pemahaman yang mendalam dan komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan pada Pancasila dan Konstitusi Negara Indonesia perlu ditanamkan kepada seluruh komponen bangsa Indonesia, khususnya generasi muda sebagai penerus bangsa.
Indonesia di masa depan diharapkan tidak akan mengulang lagi sistem pemerintahan otoriter yang membungkam hak-hak warga negara untuk menjalankan prinsip demokrasi dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Kehidupan yang demokratis di dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintahan, dan organisasi-organisasi non-pemerintahan perlu dikenal, dimulai, diinternalisasi, dan diterapkan demi kejayaan bangsa dan negara Indonesia.
Demokrasi dalam suatu negara hanya akan tumbuh subur apabila dijaga oleh warga negara yang demokratis. Warga negara yang demokratis bukan hanya dapat menikmati hak kebebasan individu, tetapi juga harus memikul tanggung jawab secara bersama-sama dengan orang lain untuk membentuk masa depan yang cerah.
Sesungguhnya, kehidupan yang demokratis adalah cita-cita yang dicerminkan dan diamanatkan oleh para pendiri bangsa dan negara ketika mereka pertama kali membahas dan merumuskan Pancasila dan UUD 1945.
Berkenaan dengan hal-hal yang diuraikan di atas, sekolah memiliki peranan dan tanggung jawab yang sangat penting dalam mempersiapkan warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan adalah menyelenggarakan program pendidikan yang memberikan berbagai kemampuan sebagai seorang warga negara melalui mata pelajaran Kewarganegaraan (Citizenship).
Keluarga, tokoh-tokoh keagamaan dan kemasyarakatan, media masa, dan lembaga-lembaga lainnya dapat bekerjasama dan memberikan kontribusi yang kondusif terhadap tanggung jawab sekolah tersebut.
B. PENGERTIAN
Kewarganegaraan (Citizenship) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
C. TUJUAN DAN FUNGSI
Kewarganegaraan di SMA dan MA mempunyai tujuan dan fungsi berikut ini.
1. Tujuan
Tujuan mata pelajaran Kewarganegaraan adalah untuk memberikan kompetensi-kompetensi sebagai berikut:
(1)berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan,
(2)berpartisipasi secara bermutu dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
(3)berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
(4)berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
2. Fungsi
Mata pelajaran Kewarganegaraan berfungsi sebagai wahana untuk membentuk warga negara cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.
D. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup mata pelajaran Kewarganegaraan dikelompokkan ke dalam komponen rumpun bahan pelajaran dan sub komponen rumpun bahan pelajaran sebagai berikut:
ASPEK
SUB ASPEK
SISTEM BERBANGSA DAN BERNEGARA
1.Persatuan bangsa dan negara
2.Nilai dan norma ( agama, kesusilaan, kesopanan dan hukum )
3.Hak Asasi Manusia
4.Kebutuhan hidup warga negara
5.Kekuasaan dan politik
6.Masyarakat demokratis
7.Pancasila dan konstitusi negara
8.Globalisasi
E. STANDAR KOMPETENSI LINTAS KURIKULUM
Standar Kompetensi Lintas Kurikulum merupakan kecakapan untuk hidup dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman belajar.
Standar Kompetensi Lintas Kurikulum ini meliputi:
1. Memiliki keyakinan, menyadari serta menjalankan hak dan kewajiban, saling menghargai dan memberi rasa aman, sesuai dengan agama yang dianutnya
2. Menggunakan bahasa untuk memahami, mengembangkan, dan mengkomunikasikan gagasan dan informasi, serta untuk berinteraksi dengan orang lain.
3. Memilih, memadukan, dan menerapkan konsep-konsep, teknik-teknik, pola, struktur, dan hubungan.
4. Memilih, mencari, dan menerapkan teknologi dan informasi yang diperlukan dari berbagai sumber.
5. Memahami dan menghargai lingkungan fisik, makhluk hidup, dan teknologi, dan menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk mengambil keputusan yang tepat.
6. Berpartisipasi, berinteraksi, dan berkontribusi aktif dalam masyarakat dan budaya global berdasarkan pemahaman konteks budaya, geografis, dan historis.
7. Berkreasi dan menghargai karya artistik, budaya, dan intelektual serta menerapkan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi menuju masyarakat beradab.
8. Berpikir logis, kritis, dan lateral dengan memperhitungkan potensi dan peluang untuk menghadapi berbagai kemungkinan.
9. Menunjukkan motivasi dalam belajar, percaya diri, bekerja mandiri, dan bekerja sama dengan orang lain.
F.STANDAR KOMPETENSI BAHAN KAJIAN ILMU-ILMU SOSIAL DAN KEWARGANEGARAAN
1.Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang sistem sosial dan budaya dan menerapkannya untuk:
a.Mengembangkan sikap kritis dalam situasi sosial yang timbul sebagai akibat perbedaan yang ada di masyarakat.
b.Menentukan sikap terhadap proses perkembangan dan perubahan sosial budaya.
c.Menghargai keanekaragaman sosial budaya dalam masyarakat multikultur.
2.Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang manusia, tempat, dan lingkungan dan menerapkannya untuk:
a.Menganalisis proses kejadian, interaksi, dan saling ketergantungan antara gejala alam dan kehidupan di muka bumi dalam dimensi ruang dan waktu.
b.Terampil dalam memperoleh, mengolah, dan menyajikan informasi geografis.
3.Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang perilaku ekonomi dan kesejahteraan dan menerapkannya untuk:
a.Berperilaku yang rasional dan manusiawi dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi.
b.Menumbuhkan jiwa, sikap, dan perilaku kewirausahaan.
c.Menganalisis sistem informasi keuangan lembaga-lembaga ekonomi.
d.Terampil dalam praktik usaha ekonomi sendiri.
4.Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang waktu, keberlanjutan, dan perubahan dan menerapkannya untuk:
a.Menganalisis keterkaitan antara manusia, waktu, tempat, dan kejadian.
b.Merekonstruksi masa lalu, memaknai masa kini, dan memprediksi masa depan.
c.Menghargai berbagai perbedaan serta keragaman sosial, kultural, agama, etnis, dan politik dalam masyarakat dari pengalaman belajar peristiwa sejarah.
5.Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang sistem berbangsa dan bernegara dan menerapkannya untuk:
a.Mewujudkan persatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
b.Membiasakan untuk mematuhi norma, menegakkan hukum, dan menjalankan peraturan.
c.Berpartisipasi dalam mewujudkan masyarakat dan pemerintahan yang demokratis, menjunjung tinggi, melaksanakan, dan menghargai HAM.
G. STANDAR KOMPETENSI MATA PELAJARAN KEWARGANEGARAAN SMA DAN MA
Kelas X
Kemampuan membiasakan untuk mencari, menyerap, menyampaikan, dan menggunakan informasi tentang hakikat bangsa dan negara; nilai dan norma (agama, kesusilaan, kesopanan dan hukum ); penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan implikasinya; masyarakat politik; prinsip-prinsip demokrasi; dan hubungan dasar negara dengan konstitusi.
Kelas XI
Kemampuan membiasakan untuk mencari, menyerap, menyampaikan, dan menggunakan informasi tentang prestasi diri; keterbukaan dan jaminan keadilan; sistem politik; hubungan internasional; sistem hukum internasional dan pengadilan internasional; serta Pancasila dan Undang –Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Kelas XII
Kemampuan membiasakan untuk mencari, menyerap, menyampaikan dan menggunakan informasi tentang sistem pemerintahan; peranan pers dalam kehidupan masyarakat demokratis; dan pengaruh globalisasi terhadap bangsa dan negara Indonesia.
H.RAMBU-RAMBU
1. Pendekatan Pembelajaran dan Penilaian
a. Pembelajaran
Pembelajaran dalam mata pelajaran Kewarganegaraan merupakan proses dan upaya dengan menggunakan pendekatan belajar kontekstual untuk mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan, keterampilan, dan karakter warga negara Indonesia. Pendekatan belajar kontekstual dapat diwujudkan antara lain dengan metode-metode: (1) kooperatif, (2) penemuan, (3) inkuiri, (4) interaktif, (5) eksploratif, (6) berpikir kritis, dan (7) pemecahan masalah.
Metode-metode pembelajaran tersebut dapat dilaksanakan secara bervariasi di dalam atau di luar kelas dengan memperhatikan ketersediaan sumber-sumber belajar. Guru dengan persetujuan kepala sekolah selain dapat membawa siswa menemui tokoh masyarakat dan pejabat setempat, juga dapat mengundang tokoh masyarakat dan pejabat setempat ke sekolah untuk memberikan informasi yang relevan dengan materi yang di bahas dalam kegiatan pembelajaran.
b. Penilaian
Penilaian dalam mata pelajaran Kewarganegaraan diarahkan untuk mengukur pencapaian indikator hasil belajar. Penilaian dapat menggunakan model penilaian berdasarkan perbuatan (performance-based assessment) atau juga dikenal dengan penilaian otentik (authentic assessment).
Penilaian perbuatan atau otentik dapat menggunakan campuran beberapa teknik berikut ini: (1) Catatan kegiatan, (2) Catatan anekdot, (3) Skala sikap, (4) Catatan tindakan, (5) Koleksi pekerjaan, (6) Tugas individu, (7) Tugas kelompok atau kelas, (8) Diskusi, (9) Wawancara, (10) Catatan pengamatan, (11) Peta perilaku, (12) Portofolio, (13) Kuesioner, (14) Pengukuran sosiometrik, (15) Tes buatan guru, (16) Tes standar prestasi, dan (17) Tes standar psikologi
2. Praktek Belajar Kewarganegaraan
Praktik Belajar Kewarganegaraan (PBK) adalah suatu inovasi pembelajaran yang dirancang untuk membantu peserta didik memahami teori kewarganegaraan melalui pengalaman belajar praktik-empirik. Dengan adanya praktik, siswa diberikan latihan untuk belajar secara kontekstual.
PBK untuk TK, Kelas I, II, dan III dilakukan dengan penyelenggaraan permainan dan simulasi yang menarik, merangsang proses berpikir, membiasakan untuk bersikap dan berbuat sesuatu yang baik, dan mengembangkan sikap positif terhadap lingkungannya.
PBK untuk Kelas IV, V, dan VI dilakukan dengan membuat karangan, menganalisis suatu isu atau kasus yang dikutip oleh guru dari koran dan majalah, dan membuat laporan tertulis tentang suatu kegiatan atau peristiwa.
PBK untuk Kelas VII, VIII, dan IX dilakukan dengan: (1) mengidentifikasi masalah, (2) mengumpulkan dan mengevaluasi informasi berkaitan dengan masalah, (3) menguji dan mengevaluasi pemecahan masalah, (4) memilih atau mengembangkan alternatif pemecahan masalah yang direkomendasikan, (5) mengembangkan rencana tindakan, dan (6) mengevaluasi pelaksanaan tindakan.
PBK untuk Kelas X, XI, XII SMA dan MA dilakukan dengan mengaplikasikan metode-metode ilmiah (the application of the scientific methods) seperti metode pemecahan masalah (problem solving method) dan metode inkuiri (inquiry method).
Langkah-langkah metode pemecahan masalah yaitu sebagai berikut: (1) merumuskan masalah, (2) membuat kerangka untuk pemecahan masalah, (3) menentukan sumber data, (4) mencari data, (5) menaksir kelayakan data, (6) memilah dan memasukan data ke dalam kerangka, (7) meringkas dan melakukan verifikasi data, (9) mengamati hubungan antar data, (10) menafsirkan data, (11) menyimpulkan hasil penafsiran, dan (12) mengkomunikasikan hasil pemecahan masalah.
Langkah-langkah metode inkuiri yaitu sebagai berikut: (1) membuat fokus untuk inkuiri, (2) menyajikan masalah, (3) merumuskan kemungkinan penyelesaian, (4) mengumpulkan data, (5) menilai penyelesaian yang diajukan, dan (6) merumuskan kesimpulan.
Hasil akhir dari Praktik Belajar Kewarganegaraan adalah portofolio (portfolio) hasil belajar yang berupa rencana dan tindakan nyata yang ditayangkan oleh setiap individu atau kelompok dan dinilai secara periodik melalui suatu kompetisi interaktif-argumentatif pada tingkat kelas, sekolah, daerah setempat, dan nasional. Peserta didik kemudian diberikan sertifikat keberhasilan dalam mengikuti kegiatan praktik tersebut
3. Pemanfaatan Teknologi Komunikasi dan Informasi
Dalam pembelajaran Kewarganegaraan dapat menggunakan berbagai media yang mempunyai potensi untuk menambah wawasan dan konteks belajar serta meningkatkan hasil belajar. Slide, film, radio, televisi, dan komputer yang dilengkapi CD-ROM dan hubungan internet dapat dimanfaatkan untuk mengakses berbagai informasi tentang isu-isu internasional dan aktivitas kewarganegaraan di negara-negara lain.
4.Pengembangan Silabus
Dokumen ini merupakan standar nasional mata pelajaran Kewarganegaraan yang masih perlu dijabarkan lebih lanjut menjadi silabus. Cara penjabaran dan bentuk dari silabus diserahkan kepada masing-masing penyusun. Oleh karena itu, silabus akan berbeda-beda antara satu daerah atau sekolah dengan daerah atau sekolah yang lainnya.
Sebagai bahan acuan, silabus menguraikan secara komprehensif sebagai berikut: (1). Kelas, (2) semester, (3) kompetensi dasar, (4) Indikator (5) Materi pokok (6) langkah pembelajaran (7) alokasi waktu, (8) sumber belajar , dan (9) penilaian.
Kurikulum berbasis kompetensi dapat diversifikasikan atau diperluas, diperdalam dan disesuaikan dengan keberagaman kondisi siswa maupun yang menyangkut potensi lingkungan.
BAB II
KOMPETENSI DASAR, INDIKATOR, DAN MATERI POKOK
Kelas : X
Standar Kompetensi : 1. Kemampuan membiasakan untuk mencari, menyerap, menyampaikan, dan menggunakan informasi tentang hakikat bangsa dan negara; nilai dan norma (agama, kesusilaan, kesopanan, dan hukum); penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan implikasinya; masyarakat politik; prinsip-prinsip demokrasi; dan hubungan dasar negara dengan konstitusi.
Kompetensi Dasar
Indikator
Materi Pokok
1.1 Kemampuan untuk menganalisis hakikat bangsa dan negara
Mendeskripsikan kedudukan manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
Menganalisis pengertian dan unsur terbentuknya bangsa
Menganalisis pengertian dan terjadinya negara
Menguraikan fungsi dan tujuan negara
Hakikat bangsa dan negara
Menyimpulkan pentingnya pengakuan suatu negara oleh negara lain
Menunjukkan alasan suatu negara mengakui keberadaan negara lain
Menunjukkan semangat kebangsaan (nasionalisme dan patriotisme)
Menerapkan semangat kebangsaan
1.2Kemampuan menganalisis dan menerapkan nilai dan
norma (agama, kesusilaan,
kesopanan, dan hukum)
Mendeskripsikan pengertian dan macam-macam nilai
Mendeskripsikan pengertian dan macam-macam norma serta sanksinya
Menyimpulkan hubungan nilai dengan norma
Merumuskan nilai sebagai sumber norma
Mendeskripsikan pengertian dan penggolongan hukum
Menunjukkan sikap positif terhadap hukum (sadar hukum)
Mengidentifikasi perbuatan-perbuatan yang sesuai dan bertentangan dengan hukum
Menerapkan nilai dan macam –macam norma di lingkungan sekolah dan masyarakat
Nilai, macam-macam norma dan sanksinya
Kompetensi Dasar
Indikator
Materi Pokok
1.3 Kemampuan menganalisis penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan implikasinya
Menganalisis pengertian dan macam–macam HAM
Mengidentifikasi hambatan dan tantangan dalam penegakan HAM di Indonesia
Mengidentifikasi pelanggaran dan proses peradilan HAM internasional
Penegakan Hak Asasi Manusia dan implikasinya
Memprediksi konsekuensi jika suatu negara tidak menegakkan HAM
Menganalisis sanksi internasional atas pelanggaran HAM
Mendemonstrasikan proses penegakan HAM di Indonesia
Berpartisipasi terhadap penegakan HAM dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
1.4 Kemampuan menganalisis masyarakat politik
Mendeskripsikan keberadaan manusia sebagai insan politik
Mengidentifikasikan ciri-ciri masyarakat politik
Masyarakat politik
Mendeskripsikan dinamika politik Indonesia
Menganalisis cara-cara berpolitik yang berkembang dalam masyarakat
Mendemonstrasikan perilaku politik sesuai aturan
Terampil melakukan komunikasi politik
1.5 Kemampuan mengapresiasi prinsip-prinsip demokrasi
Menganalisis proses demokratisasi menuju masyarakat madani (civil society )
Menguraikan prinsip-prinsip demokrasi yang berlaku secara universal
Menganalisis keterkaitan prinsip-prinsip demokrasi dengan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila
Membandingkan pelaksanaan demokrasi di Indonesia sejak masa orde lama, orde baru, dan reformasi
Prinsip-prinsip demokrasi
Mendemonstrasikan prinsip-prinsip demokrasi dalam pelaksanaan pemilihan umum.
Menunjukkan perilaku yang mendukung terhadap tegaknya prinsip-prinsip demokrasi
Kompetensi Dasar
Indikator
Materi Pokok
1.6 Kemampuan menganalisis hubungan dasar negara dengan konstitusi
Mendeskripsikan keterkaitan dasar negara dengan konstitusi
Menganalisis substansi konstitusi negara
Membandingkan hubungan dasar negara dengan konstitusi pada negara RI dengan negara liberal dan negara komunis
Hubungan dasar negara dengan konstitusi
Menganalisis kedudukan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945
Kelas : XI
Standar Kompetensi : 1. Kemampuan membiasakan untuk mencari, menyerap, menyampaikan, dan menggunakan informasi tentang prestasi diri; keterbukaan dan jaminan keadilan; sistem politik; hubungan internasional; sistem hukum internasional dan pengadilan internasional; serta Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Kompetensi Dasar
Indikator
Materi Pokok
1.1 Kemampuan menunjukkan prestasi diri
Mengidentifikasi potensi diri
Menganalisis berbagai upaya untuk dapat berprestasi dalam berbagai bidang kehidupan
Mengidentifikasi peluang untuk mewujudkan prestasi
Menunjukkan sikap positif terhadap setiap peluang untuk berprestasi
Menunjukkan kesiapan untuk berkompetisi secara sehat dengan orang lain
Menunjukkan semangat berprestasi
Berpartisipasi dalam berbagai aktivitas
Prestasi diri
1.2 Kemampuan menganalisis keterbukaan dan jaminan keadilan
Menganalisis makna keterbukaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Menguraikan pentingnya keterbukaan dan jaminan keadilan untuk memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa
Menyimpulkan akibat dari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan
Keterbukaan dan jaminan keadilan
Mengapresiasi sikap terbuka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Menunjukkan perilaku positif terhadap upaya peningkatan jaminan keadilan
Berpartisipasi dalam upaya peningkatan jaminan keadilan
1.3 Kemampuan menganalisis dan merespon sistem politik
Mendeskripsikan macam-macam sistem politik
Menganalisis sistem politik demokrasi Pancasila
Menerima adanya perbedaan sistem politik
Menunjukkan sikap positif terhadap pengembangan demokrasi di Indonesia
Mengapresiasi sistem politik demokrasi Pancasila
Menunjukkan partisipasi politik yang sesuai dengan aturan
Mendemonstrasikan pelaksanaan demokrasi Pancasila dalam pengambilan keputusan
Sistem politik
Kompetensi Dasar
Indikator
Materi Pokok
1.4 Kemampuan menganalisis hubungan
internasional
Menganalisis perlunya kerjasama internasional
Mengidentifikasikan tahap – tahap perjanjian internasional
Menganalisis kebijakan politik luar negeri Indonesia
Mendeskripsikan tujuan, fungsi dan peranan PBB
Menunjukkan sikap positif terhadap kerjasama dan perjanjian internasional
Mendukung kerjasama dan perjanjian internasional yang bermanfaat bagi Indonesia
Hubungan internasional
1.5 Kemampuan menganalisis Sistem Hukum Internasional dan Pengadilan Internasional
Menganalisis makna, asas dan sumber hukum internasional
Menggambarkan proses ratifikasi hukum internasional menjadi hukum nasional
Mengidentifikasi penyebab timbulnya sengketa internasional
Sistem Hukum Internasional dan
Pengadilan Internasional
Mengapresiasi peranan Mahkamah Internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional
Mendukung keputusan Mahkamah Internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional
Menerapkan prinsip hidup berdampingan secara damai berdasarkan persamaan derajat
Menggambarkan prosedur penyelesaian sengketa internasional melalui Mahkamah Internasional
1.6 Kemampuan menganalisis dan menerapkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Mendeskripsikan makna Pancasila sebagai ideologi terbuka
Menganalisis Pancasila sebagai sumber nilai
Mendeskripsikan Pancasila sebagai paradigma pembangunan
Menunjukkan sikap positif terhadap nilai-nilai Pancasila
Menguraikan tahap-tahap amandemen Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Menunjukkan perilaku konstitusional dalam hidup berbangsa dan bernegara
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945
Kelas : XII
Standar Kompetensi : 1. Kemampuan membiasakan untuk mencari, menyerap, menyampaikan dan menggunakan informasi tentang sistem pemerintahan; peranan pers dalam kehidupan masyarakat demokratis; dan pengaruh globalisasi terhadap bangsa dan negara Indonesia.
Kompetensi Dasar
Indikator
Materi Pokok
1.1 Kemampuan mengevaluasi sistem pemerintahan
Mengklasifikasi sistem pemerintahan presidensial dan parlementer di berbagai negara
Menganalisis pengaruh sistem pemerintahan satu negara terhadap negara-negara lain
Sistem pemerintahan
Mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan pelaksanaan sistem pemerintahan negara RI
Menentukan sikap terhadap pelaksanaan sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia
1.2 Kemampuan menganalisis peranan pers dalam kehidupan masyarakat demokratis
Mendeskripsikan perkembangan pers di Indonesia
Menguraikan fungsi pers dalam masyarakat yang demokratis
Mendeskripsikan kode etik jurnalistik dan pers yang bebas dan bertangungjawab
Peranan pers dalam kehidupan masyarakat demokratis
Menentukan sikap terhadap upaya pemerintah dalam mengendalikan kebebasan pers
Menunjukkan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa
Menulis suatu berita aktual untuk dipublikasikan
Memanfaatkan media massa dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan fungsinya
Kompetensi Dasar
Indikator
Materi Pokok
1.3 Kemampuan mengevaluasi pengaruh globalisasi terhadap bangsa dan negara Indonesia
Menguraikan proses globalisasi
Mendeskripsikan pengaruh globalisasi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara
Mengidentifikasi aspek-aspek positif dan negatif dari globalisasi
Globalisasi
Menunjukkan sikap selektif terhadap pengaruh globalisasi
Menentukan posisi terhadap implikasi globalisasi
Meresensi tulisan tentang pengaruh globalisasi dalam kehidupan
Mempresentasikan resensi tulisan tentang pengaruh globalisasi
pengetahuankita
Rabu, 08 Desember 2010
desentralisasi
1.Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjelaskan bahwa Desentralisasi adalah penyerahan wewenang/transfer wewengang dari pemerintah pusat baik kepada pejabat-pejabat pemerintah pusat di Daerah yang disebut Dekonsentrasi maupun kepada badan-badan otonom daerah yang sering disebut Devolusi.
Pendapat lain adalah Carolie Bryant dan Luuise.G White, mengatakan bahwa Desentralisasi adalah transfer kekuasaan/kewenangan yang dapat dibedakan ke dalam desentralisasi administratif maupun desentralisasi politik.
Dan pada dasarnya desentralisasi adalah suatu proses transfer/penyerahan sebagian wewenang dan tanggungjawab dari urusan yang semula adalah urusan pemerintah pusat kepada badan-badan atau lembaga-lembaga Pemerintah Daerah agar menjadi urusan rumahtangganya sehingga urusan-urusan tersebut beralih kepada Daerah dan menjadi wewenang dan tanggungjawab Pemerintah Daerah.
2.(1) devolusi; Muncul ketika kewenangan dialihkan dari pemerintah pusat pada unit pemerintahanlokal.
(2) devolusi fungsional;
(3) organisasi interest;
(4) dekonsentrasiprefektoral;
(5) dekonsentrasi kementrian;
(6) delegasi pada agen-agen otonomi;
(7) philanthropy;
(8) marketization.
3. Perbedaan antara ddasentralisasi administrative atau dekonsentralisasi politik:
Jika dalam dekonsentrasi lembaga pemerintahan yang melaksanakan fungsi khusus tersebut adalah administrasi lapangan (instansi vertikal),
dalam desentralisasi teritorial adalah dinas yang otonom dan kepala daerah yang dipilih secara politik,
maka dalamdesentralisasi fungsional lembaga yang melaksanakan fungsi kawasan khusus adalah lembaga otonom yang pengisian jabatannya dapat dilakukan sendiri oleh lembaga otonom tersebut,
atau dengan persetujuan oleh pemerintah pusat,
pemilihan secara politik oleh konstituen atau merupakan gabungan diantara cara-cara tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakana bahwa birokrasi desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional adalah otonom,
berbeda dengan dekonsentrasi yang ditentukan oleh lembaga pusat.
Dimensi lain membedakan adalah terkait dengan keuangan dan batas wilayah kerja.
Jika dalam dekonsentrasi keuangan lembaga penyelenggara di daerah sangat tergantung oleh anggaran sektor di pusat,
maka dalam desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional bersifat keuangannya bersifat otonom baik dalam penerimaan maupun pengeluaran.
Tentang batas wilayah kerja, dalam dekonsentrasi ditentukan secara tegas wilayah kerja aparat dekonsentrasi oleh pemerintah pusat (baik dalam integrated maupun unintegrated prefectoral system). Sedangkan dalam desentralisasi teritorial,
wilayah suatu daerah otonom merupakan kesepakatan diantara masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Organisasi Perangkat Daerah:
Sekretariat Daerah merupakan unsur staf. Sekretariat Daerah mempunyai tugas dan kewajiban membantu Gubernur, Bupati atau Walikota dalam menyusun kebijakan dan mengoorDinasikan Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah. Pengertian pertanggung jawaban Kepala Dinas, Sekretaris DPRD, dan Kepala Badan/Kantor/Direktur Rumah Sakit Daerah melalui Sekretaris Daerah adalah pertanggungjawaban administratif yang meliputi penyusunan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan tugas Dinas Daerah, Sekretariat DPRD dan Lembaga Teknis Daerah, dengan demikian Kepala Dinas, Sekretaris DPRD, dan Kepala Badan/Kantor/Direktur Rumah Sakit Daerah bukan merupakan bawahan langsung Sekretaris Daerah.
Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Sekretariat DPRD) merupakan unsur pelayanan terhadap DPRD. Sekretariat DPRD mempunyai tugas menyelenggarakan administrasi kesekretariatan, administrasi keuangan, mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD, dan menyediakan serta mengoorDinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
Badan Pengawasan Daerah yang selanjutnya disebut Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten, dan Inspektorat Kota adalah unsur pengawasan daerah yang dipimpin oleh Inspektur, yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada Gubernur, Bupati atau Walikota.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah merupakan unsur perencana penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah.
Dinas Daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah. Dinas Daerah mempunyai tugas melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Unit Pelaksana Teknis adalah unsur pelaksana tugas teknis pada Dinas dan Badan.
Lembaga Teknis Daerah merupakan unsur pendukung tugas Kepala daerah. Lembaga Teknis Daerah mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik.
Rumah Sakit Daerah adalah sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat yang dikategorikan ke dalam Rumah Sakit Umum Daerah dan Rumah Sakit Khusus Daerah.
Pendapat lain adalah Carolie Bryant dan Luuise.G White, mengatakan bahwa Desentralisasi adalah transfer kekuasaan/kewenangan yang dapat dibedakan ke dalam desentralisasi administratif maupun desentralisasi politik.
Dan pada dasarnya desentralisasi adalah suatu proses transfer/penyerahan sebagian wewenang dan tanggungjawab dari urusan yang semula adalah urusan pemerintah pusat kepada badan-badan atau lembaga-lembaga Pemerintah Daerah agar menjadi urusan rumahtangganya sehingga urusan-urusan tersebut beralih kepada Daerah dan menjadi wewenang dan tanggungjawab Pemerintah Daerah.
2.(1) devolusi; Muncul ketika kewenangan dialihkan dari pemerintah pusat pada unit pemerintahanlokal.
(2) devolusi fungsional;
(3) organisasi interest;
(4) dekonsentrasiprefektoral;
(5) dekonsentrasi kementrian;
(6) delegasi pada agen-agen otonomi;
(7) philanthropy;
(8) marketization.
3. Perbedaan antara ddasentralisasi administrative atau dekonsentralisasi politik:
Jika dalam dekonsentrasi lembaga pemerintahan yang melaksanakan fungsi khusus tersebut adalah administrasi lapangan (instansi vertikal),
dalam desentralisasi teritorial adalah dinas yang otonom dan kepala daerah yang dipilih secara politik,
maka dalamdesentralisasi fungsional lembaga yang melaksanakan fungsi kawasan khusus adalah lembaga otonom yang pengisian jabatannya dapat dilakukan sendiri oleh lembaga otonom tersebut,
atau dengan persetujuan oleh pemerintah pusat,
pemilihan secara politik oleh konstituen atau merupakan gabungan diantara cara-cara tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakana bahwa birokrasi desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional adalah otonom,
berbeda dengan dekonsentrasi yang ditentukan oleh lembaga pusat.
Dimensi lain membedakan adalah terkait dengan keuangan dan batas wilayah kerja.
Jika dalam dekonsentrasi keuangan lembaga penyelenggara di daerah sangat tergantung oleh anggaran sektor di pusat,
maka dalam desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional bersifat keuangannya bersifat otonom baik dalam penerimaan maupun pengeluaran.
Tentang batas wilayah kerja, dalam dekonsentrasi ditentukan secara tegas wilayah kerja aparat dekonsentrasi oleh pemerintah pusat (baik dalam integrated maupun unintegrated prefectoral system). Sedangkan dalam desentralisasi teritorial,
wilayah suatu daerah otonom merupakan kesepakatan diantara masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Organisasi Perangkat Daerah:
Sekretariat Daerah merupakan unsur staf. Sekretariat Daerah mempunyai tugas dan kewajiban membantu Gubernur, Bupati atau Walikota dalam menyusun kebijakan dan mengoorDinasikan Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah. Pengertian pertanggung jawaban Kepala Dinas, Sekretaris DPRD, dan Kepala Badan/Kantor/Direktur Rumah Sakit Daerah melalui Sekretaris Daerah adalah pertanggungjawaban administratif yang meliputi penyusunan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan tugas Dinas Daerah, Sekretariat DPRD dan Lembaga Teknis Daerah, dengan demikian Kepala Dinas, Sekretaris DPRD, dan Kepala Badan/Kantor/Direktur Rumah Sakit Daerah bukan merupakan bawahan langsung Sekretaris Daerah.
Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Sekretariat DPRD) merupakan unsur pelayanan terhadap DPRD. Sekretariat DPRD mempunyai tugas menyelenggarakan administrasi kesekretariatan, administrasi keuangan, mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD, dan menyediakan serta mengoorDinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
Badan Pengawasan Daerah yang selanjutnya disebut Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten, dan Inspektorat Kota adalah unsur pengawasan daerah yang dipimpin oleh Inspektur, yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada Gubernur, Bupati atau Walikota.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah merupakan unsur perencana penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah.
Dinas Daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah. Dinas Daerah mempunyai tugas melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Unit Pelaksana Teknis adalah unsur pelaksana tugas teknis pada Dinas dan Badan.
Lembaga Teknis Daerah merupakan unsur pendukung tugas Kepala daerah. Lembaga Teknis Daerah mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik.
Rumah Sakit Daerah adalah sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat yang dikategorikan ke dalam Rumah Sakit Umum Daerah dan Rumah Sakit Khusus Daerah.
Makalah Menejemen Pelayanan Energi Kelangkaan Minyak dan Gas di Kota Malang
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
A.LATAR BELAKANG
Pemerintah tahun 2007 berencana menerapkan kebijakan menarik kompor minyak tanah milik masyarakat untuk diganti dengan kompor gas elpiji. Kebijakan ini terkait upaya pemerintah mengalihkan subsidi minyak tanah ke elpiji. Tapi ini baru konsep dan kita akan bicarakan terlebih dahulu.
Pemerintah pada tahap awal merencanakan program pengalihan minyak tanah ke elpiji di empat wilayah yakni DKI Jakarta, Batam, Bali, Makassar, dan kota malang. Pemilihan keempat wilayah itu karena memiliki ketersediaan infrastruktur pemanfaatan elpiji yang sudah lengkap. Tapi, ini masih konsep. Belum diputuskan. Sesuai konsep, harga minyak tanah di empat wilayah yang saat ini ditetapkan Rp 2.000,00 per liter secara otomatis akan dinaikkan. Sedangkan, di luar empat wilayah, harga minyak tanah tetap Rp 2.000,00 per liter. Mengenai waktu pelaksanaannya, pemerintah akan melaksanakan program secara bertahap dan setelah masyarakat benar-benar siap.
Untuk menyukseskan pemakaian elpiji, pemerintah akan menyiapkan tabung elpiji ukuran kecil yang harganya terjangkau oleh masyarakat. Jadi, elpijinya bukan pakai tabung yang besar kalau untuk masyarakat kecil, kita siapkan yang tiga kilogram. Ukuran tabung tiga kilogram (kg) ini ekuivalen sekira Rp 12.000,00. Dalam perhitungannya, penggunaan elpiji ini jauh lebih murah ketimbang minyak tanah. Satu kilogram elpiji setara dengan 3 liter minyak tanah. Saat ini harga elpiji Rp 4.250,00/kg dan minyak tanah Rp 2.000 per liter. Saya pikir ini masih bias terjangkau oleh masyarakat kecil kita.
Penggantian kompor minyak tanah ini akan bisa dilakukan secara bertahap. Kita akan sosialisasikan ini terus karena masih ada masyarakat yang khawatir menggunakan elpiji.Ia mengakui rencana pengalihan subsidi ini karena kebijakan sebelumnya yakni penggantian minyak tanah dengan batu bara kurang begitu berhasil. Kalau batu bara agak sulit diterapkan, terlalu banyak kendalanya.
Meski pemakaian elpiji digiatkan, ia menjamin, pemerintah akan tetap menjual minyak tanah, namun dengan harga keekonomian. Dengan harga minyak tanah yang mencapai tingkat keekonomiannya, diharapkan masyarakat tetap memilih elpiji karena disparitas harga yang besar. Sumber energi alternatif di tanah air berlimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal.
1.2 FUNGSI KONVERSI MINYAK ke GAS
Disini fungsi pemerintah mengalihkan pemakaian minyak tanah ke gas elpiji agar sumber energi yang berada ditanah air ini dapat digunakkan dengan baik. Pada hakekatnya pembangunan berkelanjutan merupakan aktivitas memanfaatkan seluruh sumberdaya, guna meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat manusia. Pelaksanaan pembangunan pada dasarnya juga merupakan upaya memelihara keseimbangan antara lingkungan alami (sumberdaya alam hayati dan non hayati) dan lingkungan binaan (sumberdaya manusia dan buatan), sehingga sifat interaksi maupun interdependensi antar keduanya tetap dalam keserasian yang seimbang.
Dalam kaitan ini, eksplorasi maupun eksploitasi komponen-komponen sumberdaya alam untuk pembangunan, harus seimbang dengan hasil/produk bahan alam dan pembuangan limbah ke alam lingkungan. Prinsip pemeliharaan keseimbangan lingkungan harus menjadi dasar dari setiap upaya pembangunan atau perubahan untuk mencapai kesejahteraan manusia dan keberlanjutan fungsi alam semesta.
B. PENGENALAN MATERI
Subsidi energi, baik listrik maupun BBM, telah menjadi momok menakutkan bagi pengambil keputusan di Republik Indonesia ini. Pemerintah dipusingkan bukan hanya oleh rumitnya merancang pembangunan dan menentukan prioritas dalam penyusunan RAPBN, tetapi juga dengan besarnya subsidi – terutama BBM – yang harus ditanggung setiap tahun. Karena itulah, pemerintah bersama DPR telah bersepakat untuk menghapuskan subsidi BBM secara bertahap seperti tertuang dalam UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Meskipun demikian, subsidi minyak tanah dikecualikan. Dengan kata lain, meski telah menerapkan harga pasar untuk bensin dan solar, pemerintah masih mensubsidi minyak tanah untuk keperluan masyarakat berpendapatan rendah dan industri kecil.
Namun subsidi minyak tanah dalam dua tahun terakhir masih terasa memberatkan karena besarnya volume yang harus disubsidi, seiring dengan berbagai krisis dan transisi yang terjadi dalam managemen energi nasional. Kondisi ini diperberat pula dengan bertahannya harga minyak dunia pada kisaran USD 50-60 per barel. Karena itu, langkah pemerintah untuk melakukan konversi penggunaan minyak tanah kepada bahan bakar gas dalam bentuk Liquefied Petroleum Gas (LPG) bisa dianggap sebagai salah satu terobosan penting dalam mengatasi rancunya pengembangan dan pemanfaatan energi, sekaligus mengurangi tekanan terhadap RAPBN.
Dari berbagai sumber diketahui bahwa pemerintah berencana untuk mengkonversi penggunaan sekitar 5,2 juta kilo liter minyak tanah kepada penggunaan 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010 mendatang yang dimulai dengan 1 juta kilo liter minyak tanah pada tahun 2007. Langkah ini bisa dipahami cukup strategis mengingat setelah penghapusan subsidi bensin dan solar, permintaan akan minyak tanah tidak memperlihatkan penurunan. Karena itu, salah satu jalan yang biasa dilakukan adalah dengan mengurangi pemakaian minyak tanah. Sayangnya, rencana konversi kepada LPG ini terasa mendadak dan tidak terencana secara komprehensif. Tak heran berbagai masalah dalam pelaksanaannya muncul seakan tiada henti.
Mulai dari ribut-ribut tender kompor gas yang dilakukan oleh Kantor Menteri Koperasi dan UKM, belum jelasnya sumber pendanaan dan besarnya subsidi yang mencapai ratusan milyar Rupiah, rendahnya sosialisasi kepada masyarakat yang justru sedang giatgiatnya memproduksi kompor murah berbahan bakar briket sesuai program pemerintah sebelumnya, ketidaksiapan infrastruktur seperti stasiun pengisian dan depot LPG, hingga kaburnya kriteria pemilihan lokasi uji coba dan kelompok masyarakat penerima kompor dan tabung gas gratis. Belum habis berbagai kontroveri tersebut, muncul pula masalah lain dalam proses tender kompor gas. Yaitu adanya aturan baru dimana kompor gas harus memiliki dua tungku.
Padahal peserta tender sebelumnya telah mengantisipasi dan diminta menyiapkan penawaran hanya satu tungku sesuai aturan dari Departemen Perindustrian. Lalu bagaimana langkah ke depan? Tidak semua rencana baik bisa berjalan mulus. Apalagi dalam era demokrasi yang penuh transisi. Berbagai niat dan semangat untuk mengukir sejarah tidak cukup hanya dibekali upaya biasa, tapi juga menuntut perjuangan ekstra dan kerjasama. Itulah salah satu kaedah proses perencanaan saat ini. Karena itu demi kelangsungan program konversi yang bertujuan baik, maka proses perencanaan dan program pelaksanaannya sebaiknya dibenahi dari sekarang sebelum mengalami kegagalan atau menciptakan dampak yang lebih buruk.
Ada dua masalah utama yang perlu pemikiran ulang. Pertama, dampak penghapusan subsidi untuk bensin dan solar kelihatannya luput dari perhatian pemikir negeri ini. Anjuran kiai dan puluhan cendekiawan Indonesia dengan berbagai iklannya di media cetak dan media elektronik untuk bersabar menghadapi “penyesuaian” harga BBM ternyata tidak mangkus. Himpitan dan kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat miskin seperti nelayan di pesisir dan penduduk yang hidup didaerah sungai seperti di Jambi, Sumatera Selatan, sebagian Jawa, dan sebagian besar Kalimantan, menuntut kreativitas agar bias bertahan hidup.
Mahalnya solar untuk melaut telah memaksa nelayan memodifikasi ribuan mesin kapal agar tetap bisa dioplos dengan minyak tanah supaya ekonomis, meski harus mengganti beberapa onderdil secara berkala. Sedangkan bagi rakyat pengguna transportasi sungai, mesin tempel perahu mereka juga harus direkayasa agar bisa menggunakan minyak tanah yang lebih murah. Meski secara ekonomi terjadi pengurangan subsidi untuk bensin dan solar, namun secara nasional penggunaan dan permintaan minyak tanah bukannya menurun. Malah sebaliknya, permintaan naik berlipat-lipat yang tercermin dengan banyaknya antrian minyak tanah disepanjang tahun 2005 dan 2006 di seluruh wilayah nusantara, termasuk di ibukota Jakarta.
Hal ini telah diperburuk pula oleh ulah spekulan, pengoplos, dan buruknya distribusi Pertamina. Kedua, apabila pemerintah masih akan terus melakukan konversi minyak tanah dengan berbagai kondisi makro seperti di atas, maka pelaksanaannya menuntut pembenahan. Koordinasi menjadi kata kunci. Demikian pula, harus jelas institusi penanggung jawab program utama (executing agency) dan institusi pelaksana untuk setiap sub program (implementing agency). Saat ini peran, fungsi dan tugas masingmasing institusi yang terlibat masih rancu. Setidaknya ada beberapa institusi yang terlibat, antara lain: Departemen ESDM, PT. Pertamina, BPH Migas, Depertemen Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Badan Usaha (swasta), LSM, dan Pemerintah Daerah. Menjadi penting untuk meluruskan peran dan tugas masingmasing agar tidak terjadi tumpang tindih dan saling tuding.
Untuk mewujudkan kerjasama dan koordinasi yang baik antar instansi sudah sepantasnya dibetuk Tim Terpadu untuk melaksanakan program konversi ini. Mengingat jumlah masyarakat miskin yang terus bertambah, maka sangat diperlukan kecermatan dalam menentukan lapisan masyarakat yang akan menjadi sasaran konversi ini. Untuk skala nasional tentu saja tingkat kesulitannya akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan skala uji coba yang sekarang sedang dilaksanakan di beberapa kecamatan di wilayah DKI Jaya dan Tangerang.
Konversi penggunaan minyak tanah memang harus dilaksanakan secara berkesinambungan mengingat masih tingginya permintaan dan ketergantungan nasional terhadap BBM. Program ini harus berkelanjutan dan tidak bisa sporadic mengingat pemerintah masih kesulitan menaikkan produksi minyak ketingkat 1,3 juta barel per hari, sementara penggunaan bahan bakar gas dan batu bara masih terkendala oleh infrastruktur. Penggantian jutaan kompor minyak tanah menjadi kompor gas tentu memerlukan biaya cukup besar. Apalagi jika itu akan diberikan secara cuma-cuma. Untuk jangka panjang strategi pembiayaan mutlak harus dipikirkan. Diusulkan agar biaya konversi pemakaian minyak tanah ini bisa diambilkan dari berbagai retribusi dan pendapatan negara bukan pajak lainnya (PNBP) yang jumlahnya cukup besar di sektor Migas.
Sedangkan pengelolaanya dalam jangka panjang bisa saja di embankan kepada badan usaha tertentu atau dikembalikan ke Pertamina dengan menggunakan pola Public Service Obligation sehingga mengurangi rantai birokrasi dan dapat meringankan beban pemerintah ditengah keterbatasan sumber daya manusia yang ada saat ini. Sebagai penutup tidak kalah pentingnya adalah program sosialisasi kepada masyarakat agar dapat mensukseskan program ini. Karena itu ukuran tabung gas dan kepastian rancangan kompor hendaklah dibuat sedemikian rupa sehingga memang sesuai dengan kebutuhan mereka. Khusus untuk ukuran tabung gas, kiranya perlu dipikirkan ulang secara seksama, hingga tidak terjadi salah persepsi nantinya bagi sebagian masyarakat miskin yang tentu juga memiliki tingkat pendidikan yang agak terbatas dibandingkan dengan masyarakat luas lainnya. Kedua hal ini sangat perlu diperhatikan untuk menghindarkan berbagai masalah sosial yang belum diantisipasi pemerintah pada saat ini.
Program konversi minyak tanah ke elpiji secara resmi mulai dilakukan. Bertempat di desa Kebon Pala, Kecamatan Makassar, Jakarta Timur, Wakil Presiden M Yusuf Kala didampingi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro meluncurkan pelaksanaan Program Konversi Minyak Tanah ke Elpiji. Wakil Presiden, Jusuf Kalla mengatakan penggunaan elpiji sebagai pengganti minyak tanah, selain bisa mengurangi beban pengeluaran keluarga miskin juga bias menekan subsidi BBM yang selama ini ditanggung APBN. Selain itu pemakaian elpiji juga tidak menimbulkan polusi yang berlebihan. Berdasarkan kajian ilmiah, pemakaian 1 liter minyak tanah equivalent 0,4 kg elpiji. Sehingga jika menggunakan elpiji, masyarakat akan menghemat Rp 1700 dibanding minyak tanah.
Selanjutnya, berdasarkan uji coba disejumlah daerah konversi minyak tanah ke elpiji bisa mendatangkan penghematan Rp 25.000 per bulan per KK. Bagi pemerintah, program konversi memang membutuhkan dana investasi bagi pembangunan prasarana yang besar, yakni sekitar Rp 20 triliun. Namun, penghematan yang bisa dilakukan juga tidak kecil. Jika pemakaian minyak tanah bisa diganti seluruhnya dengan elpiji itu berarti subsidi sebesar Rp 30 triliun per tahun untuk minyak tanah tidak diperlukan. Ini artinya IRR lebih dari 100 %.
Minyak Tanah dan Alternatif Fuel Energy menuliskan opininya dalam blognya. Berikut ini adalah kutipannya: Masih Ingat rencana pemerintah pada sekitar pertengahan tahun 2006 silam yang akan menarik kompor minyak tanah dari masyarakat dan menggantinya dengan kompor elpiji ?
Kalo ingat, dulu dikatakan bahwa mulai 2007 proses konversi minyak tanah ke elpiji ini akan diberlakukan secara bertahap dengan tujuan menekan subsidi BBM dan diharapkan pada tahun 2008 nanti minyak tanah sudah bebas dari subsidi. Elpiji dipandang sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah yang lebih murah karena dari segi panas yang dihasilkan lebih tinggi dari pada minyak tanah kira –kira satu kilogram gas elpiji setara dengan 3-4 liter minyak tanah .
Tapi bagaimanapun menurut saya mau minyak tanah ataupun elpiji tidak akan benar-benar menjadi solusi masa depan, kenapa?
1. BBM tersebut tidak bersifat renewable, apalagi diperkirakan cadangan minyak Indonesia akan habis pada tahun 2020 mendatang, yang artinya setelah tahun tersebut maka 100 % minyak Indonesia adalah hasil Impor.
2. Proses konversi kompor minyak tanah ke elpiji itu sendiri membutuhkan proses yang panjang dan berkesinambungan hingga bisa benar-benar mengakar di masyarakat, membutuhkan dana yang besar, membutuhkan sosialisasi yang panjang serta pengelolaan yang profesional. Untuk bisa menghambat 100 % impor BBM maka langkah yang bisa diambil adalah dengan cara menekan dan mengurangi konsumsi BBM dalam negeri, salah satu pelaksanaanya bisa dengan cara substitusi BBM fossil dengan BBM hayati (bio fuel ). Penggunaan Bio fuel secara berkesinambungan akan lebih efisien untuk menghemat pemakaian BBM.
Produk-produk bio fuel diantaranya adalah :
1. Biodiesel, untuk menggantikan minyak solar, dipakai pada kendaraan dengan mesin diesel. Bisa dihasilkan oleh CPO, minyak jarak pagar, dll.
2. Bioethanol, untuk menggantikan bensin. Bisa dihasilkan oleh tebu, ubi kayu, shorgum dll
3. Biokerosin, untuk menggantikan minyak tanah. Bisa dihasilkan oleh jarak pagar
Berdasarkan pengamatan BPH Migas, Pertamina ternyata menarik 100 persen minyak tanah di wilayah konversi. Hal ini melanggar komitmen secara tertulis kepada BPH Migas tertanggal 23 April 2007 lalu yang menyatakan bahwa Pertamina hanya akan menarik 70 persen minyak tanah. Di wilayah Jabodetabek, komposisi pengguna minyak tanah adalah 70 persen konsumen rumah tangga dan 30 persen usaha kecil seperti pedagang kaki lima.
Sementara, program konversi yang dibagikan tabung dan kompor LPG secara gratis hanya menyentuh konsumen rumah tangga yang menggunakan minyak tanah. Jadi, kalau minyak tanah ditarik 100 persen, tentunya akan terjadi kelangkaan. Apalagi, berdasarkan pemantauan BPH Migas, masyarakat yang telah dibagikan kompor dan tabung gratis ternyata sebagian besar kembali menggunakan minyak tanah. Bahkan, di beberapa wilayah hanya lima persen yang terus menggunakan LPG, sedangkan 95 persen lainnya kembali memakai minyak tanah. Sesuai PP No 36 Tahun 2005, Pertamina harus bertanggung jawab dalam proses penyaluran dan pendistribusian minyak tanah sampai ke tingkat ritel. BPH Migas juga telah memberikan penugasan kewajiban pelayanan publik (public service obligation/PSO) untuk melaksanakan penyediaan dan pendistribusian BBM bersubsidi kepada Pertamina.
Artinya, Pertamina harus melaksanakan dan bertanggung jawab jangan sampai terjadi kelangkaan BBM bersubsidi. Ia meminta agar Pertamina tidak melempar tanggung jawab atas terjadinya kelangkaan minyak tanah ke BPH Migas. 9 Sementara itu, Ketua Kelompok Kerja BBM BPH Migas Agus Nurhudoyo menambahkan, selama ini, Pertamina yang menunjuk mitra ritelnya dan setiap tiga bulan sekali meninjau kontrak dengan agen. Evaluasi kontrak itu bertujuan mengamankan pasokan minyak tanah sampai ke pangkalan dan terjamin distribusinya ke rakyat. Sedangkan peran BPH Migas lebih pada upaya mengamankan minyak tanah dengan sistem dan bukan dengan pengawasan setiap harinya. Pertaminalah yang terkait langsung dengan operasional harian dan lebih bisa berperan mendukung system pengawasannya. Dirut Pertamina Ari Soemarno mengatakan, Pertamina hanya melakukan konversi minyak tanah pada daerah-daerah yang telah dibagikan elpiji, sehingga seharusnya tidak ada kaitannya dengan kelangkaan. Ini terjadi karena ada pengoplosan dan penyalahgunaan, bukan karena program konversi.
Peluang pengoplosan dan penyalahgunaan tetap tinggi mengingat perbedaan harga minyak tanah bersubsidi dengan non subsidi bisa mencapai Rp 3.000,00 per liter. Ia berharap BPH Migas lebih memperketat pengawasan penyaluran minyak tanah bersubsidi agar tidak terjadi penyalahgunaan yang mengakibatkan kelangkaan komoditas tersebut. Pertamina sendiri tidak memiliki wewenang melakukan penindakan atas penyelewengan penggunaan minyak tanah. Itu tugasnya BPHB Migas. Upaya yang bisa dilakukan Pertamina guna menekan kelangkaan tersebut hanya sebatas melakukan penggelontoran minyak tanah ke masyarakat.
Konversi minyak tanah ke elpiji (liquefied petroleum gas) ternyata kedodoran.
Daerah-daerah yang menjadi target konversi mengeluh karena tiba-tiba minyak tanah menghilang. Jikapun ada, harganya mahal, sekitar Rp 6.000-an, karena tak ada lagi subsidi. Di berbagai wilayah di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, banyak rakyat miskin dan pedagang kecil kelabakan karena depo minyak menghilang. Padahal minyak tanah masih sangat dibutuhkan rakyat miskin yang tak mampu membeli gas, meski tabung gas berisi 3 kilogram elpiji sudah diberikan gratis oleh pemerintah. Kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji itu memang bertujuan baik, yaitu mengurangi subsidi minyak tanah untuk keperluan rumah tangga yang nilainya sekitar Rp 30 triliun. Tapi sayang, dalam menentukan kebijakan tersebut, pemerintah telah melakukan beberapa kesalahan mendasar sehingga kebijakan konversi itu akhirnya menimbulkan problem di masyarakat. Sejak awal, misalnya, pemerintah tidak konsisten dalam menentukan kebijakan konversi minyak tanah. Terbukti, gagasan konversi minyak tanah ke batu bara yang saat itu sudah mulai dikampanyekan tiba-tiba dibatalkan begitu saja.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, medio 2006, tiba-tiba menyatakan bahwa konversi ke batu bara diganti ke elpiji. Pergantian konversi secara tiba-tiba itu tidak hanya mengejutkan masyarakat yang sudah mulai bersiap-siap mengganti minyak tanah ke batu baru, tapi juga mengecewakan para perajin tungku batu bara dan para peneliti yang telah berhasil membuat tungku batu bara modern, yang bisa mengatur nyala api dan menghemat pemakaian batu bara. Di sejumlah pameran, misalnya, kreativitas masyarakat membuat tungku batu bara sudah mulai bermunculan guna menyambut era konversi minyak tanah ke batu bara itu.
Beberapa peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan perguruan tinggi, seperti di Universitas Sriwijaya, Palembang, telah berhasil membuat alat sederhana untuk mencairkan batu bara. Batu bara cair ini harganya lebih murah daripada minyak tanah dan sangat mudah pemakaiannya, sama seperti pemakaian minyak tanah. Baiknya lagi, semua jenis batu bara--baik yang muda (kadar karbonnya rendah) maupun yang tua (kadar karbon tinggi), bisa dicairkan. Dan batu cair ini ternyata tidak hanya bisa dipakai sebagai pengganti minyak tanah, tapi juga pengganti solar. Bahkan dengan sedikit treatment kimia, batu bara cair pun bisa diubah jadi premium.
Seandainya saja saat itu kebijakan konversi minyak tanah ke batu bara terus berjalan, niscaya masyarakat akan lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan energinya. Kompor-kompor batu bara, misalnya, tidak hanya bisa dipakai untuk membakar briket batu baru, tapi juga membakar briket arang kayu-kayuan, arang batok, dan lain-lain. Tapi sayang, suasana yang sudah tepat itu tiba-tiba dibatalkan secara mendadak oleh Jusuf Kalla. Apa motif di balik pembatalan konversi minyak tanah ke batu bara memang perlu diselidiki untuk mengetahui kenapa kebijakan yang sudah positif itu dibatalkan. Konversi permakaian minyak tanah ke elpiji bagi masyarakat kecil niscaya akan menimbulkan banyak masalah. Hal ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, dari aspek fisik. Minyak tanah bersifat cair sehingga transportasinya mudah, pengemasannya mudah, dan penjualan sistem eceran pun mudah. Masyarakat kecil, misalnya, bisa membeli minyak tanah hanya 0,5 liter (katakanlah Rp 1.500 dengan harga subsidi) dan mereka dapat membawanya sendiri dengan mudah. Minyak tanah 0,5 liter bisa juga dimasukkan ke plastik. Kondisi ini tak mungkin bisa dilakukan untuk pembelian elpiji. Ini karena elpiji dijual per tabung, yang isinya 3 kg, dengan harga Rp 14.500-15.000. Masyarakat jelas tidak mungkin bisa membeli elpiji hanya 0,5 kg, lalu membawanya dengan plastik atau kaleng susu bekas.
Kedua, dari aspek kimiawi. Elpiji jauh lebih mudah terbakar (inflammable) dibanding minyak tanah. Melihat perbedaan sifat fisika dan kimia (minyak tanah dan elpiji) tersebut, kita memang layak mempertanyakan sejauh mana efektivitas dan keamanan kebijakan konversi tersebut. Keluhan masyarakat Dalam sebuah kunjungan ke daerah-daerah yang--konon menurut pemerintah—sudah diberi tabung elpiji gratis, kami menemukan berbagai keluhan masyarakat. Sejak adanya kebijakan konversi itu, minyak tanah menghilang dari pasar. Kalaupun ada, harganya sangat tinggi, sehingga mereka tak sanggup membelinya. Sementara itu, kalau mau beli gas, mereka harus membeli 3 kg atau satu tabung yang harganya berkisar Rp 15 ribu.
Kondisi ini tampaknya belum diperhatikan pemerintah. Bagi rakyat kecil, membeli bahan bakar Rp 15 ribu sangat memberatkan, karena penghasilan mereka tiap hari hanya cukup untuk makan sehari, bahkan terkadang kurang. Ini berbeda dengan minyak tanah yang bisa dibeli eceran, satu atau bahkan setengah liter sekalipun. Dari aspek ini, kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji akan menimbulkan masalah seperti yang disebutkan di atas. Pemerintah kurang peka melihat kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besar penghasilannya pas-pasan. Mestinya, kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji dilakukan secara selektif. Masyarakat kecil tetap dibiarkan memilih untuk sementara waktu, apakah menggunakan minyak tanah atau elpiji, yang kedua-duanya disubsidi.
Sementara itu, masyarakat yang mampu diharuskan memakai elpiji. Untuk itu, perlu ada pendataan penduduk miskin yang akurat di tiap-tiap wilayah agar pemberian
subsidi tersebut tepat sasaran. Jika alasannya untuk mengurangi subsidi dan memanfaatkan gas produksi dalam negeri guna memenuhi kebutuhan energi nasional, kenapa pemerintah tidak mengkonversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD, yang memakai solar) dengan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG). Konversi dari PLTD ke PLTG ini cukup sederhana, tinggal menambah alat converter di mesin-mesin pembangkit listrik. Bahkan sebagian mesin di PLTD bisa dioperasikan dengan solar ataupun gas. Saat ini, misalnya, akibat pemakaian solar, subsidi pemerintah untuk PLN mencapai Rp 25 triliun. Jika memakai gas, subsidi itu nyaris nol dan pemerintah bias mengkonversi subsidi tersebut untuk membangun pusat-pusat pembangkit listrik di wilayah-wilayah lain yang kekurangan pasokan listrik.
Di luar Jawa dan daerahdaerah terpencil, misalnya, pasokan listrik ke masyarakat masih jauh dari memenuhi. Di Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat, misalnya, PLN hanya memenuhi 18,72 persen kebutuhan listrik masyarakat. Di Kabupaten Pasaman Barat, kebutuhan listrik masyarakat hanya terpenuhi 35,75 persen. Secara nasional, misalnya, PLN hanya memasok listrik 54 persen dari kebutuhan penduduk Indonesia. Ini artinya, jika prioritas konversi itu diberikan kepada PLN dulu, niscaya akan banyak membantu meningkatkan perekonomian masyarakat. Studi yang dilakukan Japan International Cooperation Agency di wilayah lereng Gunung
Halimun, Jawa Barat, menunjukkan tingkat perkembangan perekonomian masyarakat akibat masuknya jaringan listrik di pedesaan mencapai lebih dari 30 persen. Ini terjadi karena listrik tidak hanya menerangi jalan, tapi juga menjadikan masyarakat bias mengikuti acara radio, TV, dan lain-lain sehingga membuka wawasan mereka dan mengerti akses pasar untuk menjual produk-produk hasil buminya. Karena itu, untuk masyarakat pedesaan di lereng-lereng pegunungan, apakah mereka bisa dipaksa memakai tabung gas? Seberapa besar manfaat tabung gas tersebut? Jelas, tidak! Kebutuhan mereka jelas bukan tabung gas, melainkan listrik. Mereka lebih baik memakai tungku yang bisa dipakai untuk membakar kayu, batu bara, atau briket. Semua bahan bakar tersebut mudah diperoleh di desa secara gratis dan bisa dibuat sendiri. Tapi listrik? Mereka sangat membutuhkannya untuk berbagai kebutuhan, baik penerangan maupun informasi melalui media elektronik (TV dan radio).
Dengan demikian, mestinya kebijakan konversi gas tersebut perlu ditinjau ulang dan direvisi secara komprehensif. Dalam kaitan ini, kondisi masyarakat dan peta social ekonomi wilayah yang bersangkutan mestinya dikaji terlebih dulu oleh pemerintah sebelum menetapkan kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji di atas.
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
A.LATAR BELAKANG
Pemerintah tahun 2007 berencana menerapkan kebijakan menarik kompor minyak tanah milik masyarakat untuk diganti dengan kompor gas elpiji. Kebijakan ini terkait upaya pemerintah mengalihkan subsidi minyak tanah ke elpiji. Tapi ini baru konsep dan kita akan bicarakan terlebih dahulu.
Pemerintah pada tahap awal merencanakan program pengalihan minyak tanah ke elpiji di empat wilayah yakni DKI Jakarta, Batam, Bali, Makassar, dan kota malang. Pemilihan keempat wilayah itu karena memiliki ketersediaan infrastruktur pemanfaatan elpiji yang sudah lengkap. Tapi, ini masih konsep. Belum diputuskan. Sesuai konsep, harga minyak tanah di empat wilayah yang saat ini ditetapkan Rp 2.000,00 per liter secara otomatis akan dinaikkan. Sedangkan, di luar empat wilayah, harga minyak tanah tetap Rp 2.000,00 per liter. Mengenai waktu pelaksanaannya, pemerintah akan melaksanakan program secara bertahap dan setelah masyarakat benar-benar siap.
Untuk menyukseskan pemakaian elpiji, pemerintah akan menyiapkan tabung elpiji ukuran kecil yang harganya terjangkau oleh masyarakat. Jadi, elpijinya bukan pakai tabung yang besar kalau untuk masyarakat kecil, kita siapkan yang tiga kilogram. Ukuran tabung tiga kilogram (kg) ini ekuivalen sekira Rp 12.000,00. Dalam perhitungannya, penggunaan elpiji ini jauh lebih murah ketimbang minyak tanah. Satu kilogram elpiji setara dengan 3 liter minyak tanah. Saat ini harga elpiji Rp 4.250,00/kg dan minyak tanah Rp 2.000 per liter. Saya pikir ini masih bias terjangkau oleh masyarakat kecil kita.
Penggantian kompor minyak tanah ini akan bisa dilakukan secara bertahap. Kita akan sosialisasikan ini terus karena masih ada masyarakat yang khawatir menggunakan elpiji.Ia mengakui rencana pengalihan subsidi ini karena kebijakan sebelumnya yakni penggantian minyak tanah dengan batu bara kurang begitu berhasil. Kalau batu bara agak sulit diterapkan, terlalu banyak kendalanya.
Meski pemakaian elpiji digiatkan, ia menjamin, pemerintah akan tetap menjual minyak tanah, namun dengan harga keekonomian. Dengan harga minyak tanah yang mencapai tingkat keekonomiannya, diharapkan masyarakat tetap memilih elpiji karena disparitas harga yang besar. Sumber energi alternatif di tanah air berlimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal.
1.2 FUNGSI KONVERSI MINYAK ke GAS
Disini fungsi pemerintah mengalihkan pemakaian minyak tanah ke gas elpiji agar sumber energi yang berada ditanah air ini dapat digunakkan dengan baik. Pada hakekatnya pembangunan berkelanjutan merupakan aktivitas memanfaatkan seluruh sumberdaya, guna meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat manusia. Pelaksanaan pembangunan pada dasarnya juga merupakan upaya memelihara keseimbangan antara lingkungan alami (sumberdaya alam hayati dan non hayati) dan lingkungan binaan (sumberdaya manusia dan buatan), sehingga sifat interaksi maupun interdependensi antar keduanya tetap dalam keserasian yang seimbang.
Dalam kaitan ini, eksplorasi maupun eksploitasi komponen-komponen sumberdaya alam untuk pembangunan, harus seimbang dengan hasil/produk bahan alam dan pembuangan limbah ke alam lingkungan. Prinsip pemeliharaan keseimbangan lingkungan harus menjadi dasar dari setiap upaya pembangunan atau perubahan untuk mencapai kesejahteraan manusia dan keberlanjutan fungsi alam semesta.
B. PENGENALAN MATERI
Subsidi energi, baik listrik maupun BBM, telah menjadi momok menakutkan bagi pengambil keputusan di Republik Indonesia ini. Pemerintah dipusingkan bukan hanya oleh rumitnya merancang pembangunan dan menentukan prioritas dalam penyusunan RAPBN, tetapi juga dengan besarnya subsidi – terutama BBM – yang harus ditanggung setiap tahun. Karena itulah, pemerintah bersama DPR telah bersepakat untuk menghapuskan subsidi BBM secara bertahap seperti tertuang dalam UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Meskipun demikian, subsidi minyak tanah dikecualikan. Dengan kata lain, meski telah menerapkan harga pasar untuk bensin dan solar, pemerintah masih mensubsidi minyak tanah untuk keperluan masyarakat berpendapatan rendah dan industri kecil.
Namun subsidi minyak tanah dalam dua tahun terakhir masih terasa memberatkan karena besarnya volume yang harus disubsidi, seiring dengan berbagai krisis dan transisi yang terjadi dalam managemen energi nasional. Kondisi ini diperberat pula dengan bertahannya harga minyak dunia pada kisaran USD 50-60 per barel. Karena itu, langkah pemerintah untuk melakukan konversi penggunaan minyak tanah kepada bahan bakar gas dalam bentuk Liquefied Petroleum Gas (LPG) bisa dianggap sebagai salah satu terobosan penting dalam mengatasi rancunya pengembangan dan pemanfaatan energi, sekaligus mengurangi tekanan terhadap RAPBN.
Dari berbagai sumber diketahui bahwa pemerintah berencana untuk mengkonversi penggunaan sekitar 5,2 juta kilo liter minyak tanah kepada penggunaan 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010 mendatang yang dimulai dengan 1 juta kilo liter minyak tanah pada tahun 2007. Langkah ini bisa dipahami cukup strategis mengingat setelah penghapusan subsidi bensin dan solar, permintaan akan minyak tanah tidak memperlihatkan penurunan. Karena itu, salah satu jalan yang biasa dilakukan adalah dengan mengurangi pemakaian minyak tanah. Sayangnya, rencana konversi kepada LPG ini terasa mendadak dan tidak terencana secara komprehensif. Tak heran berbagai masalah dalam pelaksanaannya muncul seakan tiada henti.
Mulai dari ribut-ribut tender kompor gas yang dilakukan oleh Kantor Menteri Koperasi dan UKM, belum jelasnya sumber pendanaan dan besarnya subsidi yang mencapai ratusan milyar Rupiah, rendahnya sosialisasi kepada masyarakat yang justru sedang giatgiatnya memproduksi kompor murah berbahan bakar briket sesuai program pemerintah sebelumnya, ketidaksiapan infrastruktur seperti stasiun pengisian dan depot LPG, hingga kaburnya kriteria pemilihan lokasi uji coba dan kelompok masyarakat penerima kompor dan tabung gas gratis. Belum habis berbagai kontroveri tersebut, muncul pula masalah lain dalam proses tender kompor gas. Yaitu adanya aturan baru dimana kompor gas harus memiliki dua tungku.
Padahal peserta tender sebelumnya telah mengantisipasi dan diminta menyiapkan penawaran hanya satu tungku sesuai aturan dari Departemen Perindustrian. Lalu bagaimana langkah ke depan? Tidak semua rencana baik bisa berjalan mulus. Apalagi dalam era demokrasi yang penuh transisi. Berbagai niat dan semangat untuk mengukir sejarah tidak cukup hanya dibekali upaya biasa, tapi juga menuntut perjuangan ekstra dan kerjasama. Itulah salah satu kaedah proses perencanaan saat ini. Karena itu demi kelangsungan program konversi yang bertujuan baik, maka proses perencanaan dan program pelaksanaannya sebaiknya dibenahi dari sekarang sebelum mengalami kegagalan atau menciptakan dampak yang lebih buruk.
Ada dua masalah utama yang perlu pemikiran ulang. Pertama, dampak penghapusan subsidi untuk bensin dan solar kelihatannya luput dari perhatian pemikir negeri ini. Anjuran kiai dan puluhan cendekiawan Indonesia dengan berbagai iklannya di media cetak dan media elektronik untuk bersabar menghadapi “penyesuaian” harga BBM ternyata tidak mangkus. Himpitan dan kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat miskin seperti nelayan di pesisir dan penduduk yang hidup didaerah sungai seperti di Jambi, Sumatera Selatan, sebagian Jawa, dan sebagian besar Kalimantan, menuntut kreativitas agar bias bertahan hidup.
Mahalnya solar untuk melaut telah memaksa nelayan memodifikasi ribuan mesin kapal agar tetap bisa dioplos dengan minyak tanah supaya ekonomis, meski harus mengganti beberapa onderdil secara berkala. Sedangkan bagi rakyat pengguna transportasi sungai, mesin tempel perahu mereka juga harus direkayasa agar bisa menggunakan minyak tanah yang lebih murah. Meski secara ekonomi terjadi pengurangan subsidi untuk bensin dan solar, namun secara nasional penggunaan dan permintaan minyak tanah bukannya menurun. Malah sebaliknya, permintaan naik berlipat-lipat yang tercermin dengan banyaknya antrian minyak tanah disepanjang tahun 2005 dan 2006 di seluruh wilayah nusantara, termasuk di ibukota Jakarta.
Hal ini telah diperburuk pula oleh ulah spekulan, pengoplos, dan buruknya distribusi Pertamina. Kedua, apabila pemerintah masih akan terus melakukan konversi minyak tanah dengan berbagai kondisi makro seperti di atas, maka pelaksanaannya menuntut pembenahan. Koordinasi menjadi kata kunci. Demikian pula, harus jelas institusi penanggung jawab program utama (executing agency) dan institusi pelaksana untuk setiap sub program (implementing agency). Saat ini peran, fungsi dan tugas masingmasing institusi yang terlibat masih rancu. Setidaknya ada beberapa institusi yang terlibat, antara lain: Departemen ESDM, PT. Pertamina, BPH Migas, Depertemen Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Badan Usaha (swasta), LSM, dan Pemerintah Daerah. Menjadi penting untuk meluruskan peran dan tugas masingmasing agar tidak terjadi tumpang tindih dan saling tuding.
Untuk mewujudkan kerjasama dan koordinasi yang baik antar instansi sudah sepantasnya dibetuk Tim Terpadu untuk melaksanakan program konversi ini. Mengingat jumlah masyarakat miskin yang terus bertambah, maka sangat diperlukan kecermatan dalam menentukan lapisan masyarakat yang akan menjadi sasaran konversi ini. Untuk skala nasional tentu saja tingkat kesulitannya akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan skala uji coba yang sekarang sedang dilaksanakan di beberapa kecamatan di wilayah DKI Jaya dan Tangerang.
Konversi penggunaan minyak tanah memang harus dilaksanakan secara berkesinambungan mengingat masih tingginya permintaan dan ketergantungan nasional terhadap BBM. Program ini harus berkelanjutan dan tidak bisa sporadic mengingat pemerintah masih kesulitan menaikkan produksi minyak ketingkat 1,3 juta barel per hari, sementara penggunaan bahan bakar gas dan batu bara masih terkendala oleh infrastruktur. Penggantian jutaan kompor minyak tanah menjadi kompor gas tentu memerlukan biaya cukup besar. Apalagi jika itu akan diberikan secara cuma-cuma. Untuk jangka panjang strategi pembiayaan mutlak harus dipikirkan. Diusulkan agar biaya konversi pemakaian minyak tanah ini bisa diambilkan dari berbagai retribusi dan pendapatan negara bukan pajak lainnya (PNBP) yang jumlahnya cukup besar di sektor Migas.
Sedangkan pengelolaanya dalam jangka panjang bisa saja di embankan kepada badan usaha tertentu atau dikembalikan ke Pertamina dengan menggunakan pola Public Service Obligation sehingga mengurangi rantai birokrasi dan dapat meringankan beban pemerintah ditengah keterbatasan sumber daya manusia yang ada saat ini. Sebagai penutup tidak kalah pentingnya adalah program sosialisasi kepada masyarakat agar dapat mensukseskan program ini. Karena itu ukuran tabung gas dan kepastian rancangan kompor hendaklah dibuat sedemikian rupa sehingga memang sesuai dengan kebutuhan mereka. Khusus untuk ukuran tabung gas, kiranya perlu dipikirkan ulang secara seksama, hingga tidak terjadi salah persepsi nantinya bagi sebagian masyarakat miskin yang tentu juga memiliki tingkat pendidikan yang agak terbatas dibandingkan dengan masyarakat luas lainnya. Kedua hal ini sangat perlu diperhatikan untuk menghindarkan berbagai masalah sosial yang belum diantisipasi pemerintah pada saat ini.
Program konversi minyak tanah ke elpiji secara resmi mulai dilakukan. Bertempat di desa Kebon Pala, Kecamatan Makassar, Jakarta Timur, Wakil Presiden M Yusuf Kala didampingi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro meluncurkan pelaksanaan Program Konversi Minyak Tanah ke Elpiji. Wakil Presiden, Jusuf Kalla mengatakan penggunaan elpiji sebagai pengganti minyak tanah, selain bisa mengurangi beban pengeluaran keluarga miskin juga bias menekan subsidi BBM yang selama ini ditanggung APBN. Selain itu pemakaian elpiji juga tidak menimbulkan polusi yang berlebihan. Berdasarkan kajian ilmiah, pemakaian 1 liter minyak tanah equivalent 0,4 kg elpiji. Sehingga jika menggunakan elpiji, masyarakat akan menghemat Rp 1700 dibanding minyak tanah.
Selanjutnya, berdasarkan uji coba disejumlah daerah konversi minyak tanah ke elpiji bisa mendatangkan penghematan Rp 25.000 per bulan per KK. Bagi pemerintah, program konversi memang membutuhkan dana investasi bagi pembangunan prasarana yang besar, yakni sekitar Rp 20 triliun. Namun, penghematan yang bisa dilakukan juga tidak kecil. Jika pemakaian minyak tanah bisa diganti seluruhnya dengan elpiji itu berarti subsidi sebesar Rp 30 triliun per tahun untuk minyak tanah tidak diperlukan. Ini artinya IRR lebih dari 100 %.
Minyak Tanah dan Alternatif Fuel Energy menuliskan opininya dalam blognya. Berikut ini adalah kutipannya: Masih Ingat rencana pemerintah pada sekitar pertengahan tahun 2006 silam yang akan menarik kompor minyak tanah dari masyarakat dan menggantinya dengan kompor elpiji ?
Kalo ingat, dulu dikatakan bahwa mulai 2007 proses konversi minyak tanah ke elpiji ini akan diberlakukan secara bertahap dengan tujuan menekan subsidi BBM dan diharapkan pada tahun 2008 nanti minyak tanah sudah bebas dari subsidi. Elpiji dipandang sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah yang lebih murah karena dari segi panas yang dihasilkan lebih tinggi dari pada minyak tanah kira –kira satu kilogram gas elpiji setara dengan 3-4 liter minyak tanah .
Tapi bagaimanapun menurut saya mau minyak tanah ataupun elpiji tidak akan benar-benar menjadi solusi masa depan, kenapa?
1. BBM tersebut tidak bersifat renewable, apalagi diperkirakan cadangan minyak Indonesia akan habis pada tahun 2020 mendatang, yang artinya setelah tahun tersebut maka 100 % minyak Indonesia adalah hasil Impor.
2. Proses konversi kompor minyak tanah ke elpiji itu sendiri membutuhkan proses yang panjang dan berkesinambungan hingga bisa benar-benar mengakar di masyarakat, membutuhkan dana yang besar, membutuhkan sosialisasi yang panjang serta pengelolaan yang profesional. Untuk bisa menghambat 100 % impor BBM maka langkah yang bisa diambil adalah dengan cara menekan dan mengurangi konsumsi BBM dalam negeri, salah satu pelaksanaanya bisa dengan cara substitusi BBM fossil dengan BBM hayati (bio fuel ). Penggunaan Bio fuel secara berkesinambungan akan lebih efisien untuk menghemat pemakaian BBM.
Produk-produk bio fuel diantaranya adalah :
1. Biodiesel, untuk menggantikan minyak solar, dipakai pada kendaraan dengan mesin diesel. Bisa dihasilkan oleh CPO, minyak jarak pagar, dll.
2. Bioethanol, untuk menggantikan bensin. Bisa dihasilkan oleh tebu, ubi kayu, shorgum dll
3. Biokerosin, untuk menggantikan minyak tanah. Bisa dihasilkan oleh jarak pagar
Berdasarkan pengamatan BPH Migas, Pertamina ternyata menarik 100 persen minyak tanah di wilayah konversi. Hal ini melanggar komitmen secara tertulis kepada BPH Migas tertanggal 23 April 2007 lalu yang menyatakan bahwa Pertamina hanya akan menarik 70 persen minyak tanah. Di wilayah Jabodetabek, komposisi pengguna minyak tanah adalah 70 persen konsumen rumah tangga dan 30 persen usaha kecil seperti pedagang kaki lima.
Sementara, program konversi yang dibagikan tabung dan kompor LPG secara gratis hanya menyentuh konsumen rumah tangga yang menggunakan minyak tanah. Jadi, kalau minyak tanah ditarik 100 persen, tentunya akan terjadi kelangkaan. Apalagi, berdasarkan pemantauan BPH Migas, masyarakat yang telah dibagikan kompor dan tabung gratis ternyata sebagian besar kembali menggunakan minyak tanah. Bahkan, di beberapa wilayah hanya lima persen yang terus menggunakan LPG, sedangkan 95 persen lainnya kembali memakai minyak tanah. Sesuai PP No 36 Tahun 2005, Pertamina harus bertanggung jawab dalam proses penyaluran dan pendistribusian minyak tanah sampai ke tingkat ritel. BPH Migas juga telah memberikan penugasan kewajiban pelayanan publik (public service obligation/PSO) untuk melaksanakan penyediaan dan pendistribusian BBM bersubsidi kepada Pertamina.
Artinya, Pertamina harus melaksanakan dan bertanggung jawab jangan sampai terjadi kelangkaan BBM bersubsidi. Ia meminta agar Pertamina tidak melempar tanggung jawab atas terjadinya kelangkaan minyak tanah ke BPH Migas. 9 Sementara itu, Ketua Kelompok Kerja BBM BPH Migas Agus Nurhudoyo menambahkan, selama ini, Pertamina yang menunjuk mitra ritelnya dan setiap tiga bulan sekali meninjau kontrak dengan agen. Evaluasi kontrak itu bertujuan mengamankan pasokan minyak tanah sampai ke pangkalan dan terjamin distribusinya ke rakyat. Sedangkan peran BPH Migas lebih pada upaya mengamankan minyak tanah dengan sistem dan bukan dengan pengawasan setiap harinya. Pertaminalah yang terkait langsung dengan operasional harian dan lebih bisa berperan mendukung system pengawasannya. Dirut Pertamina Ari Soemarno mengatakan, Pertamina hanya melakukan konversi minyak tanah pada daerah-daerah yang telah dibagikan elpiji, sehingga seharusnya tidak ada kaitannya dengan kelangkaan. Ini terjadi karena ada pengoplosan dan penyalahgunaan, bukan karena program konversi.
Peluang pengoplosan dan penyalahgunaan tetap tinggi mengingat perbedaan harga minyak tanah bersubsidi dengan non subsidi bisa mencapai Rp 3.000,00 per liter. Ia berharap BPH Migas lebih memperketat pengawasan penyaluran minyak tanah bersubsidi agar tidak terjadi penyalahgunaan yang mengakibatkan kelangkaan komoditas tersebut. Pertamina sendiri tidak memiliki wewenang melakukan penindakan atas penyelewengan penggunaan minyak tanah. Itu tugasnya BPHB Migas. Upaya yang bisa dilakukan Pertamina guna menekan kelangkaan tersebut hanya sebatas melakukan penggelontoran minyak tanah ke masyarakat.
Konversi minyak tanah ke elpiji (liquefied petroleum gas) ternyata kedodoran.
Daerah-daerah yang menjadi target konversi mengeluh karena tiba-tiba minyak tanah menghilang. Jikapun ada, harganya mahal, sekitar Rp 6.000-an, karena tak ada lagi subsidi. Di berbagai wilayah di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, banyak rakyat miskin dan pedagang kecil kelabakan karena depo minyak menghilang. Padahal minyak tanah masih sangat dibutuhkan rakyat miskin yang tak mampu membeli gas, meski tabung gas berisi 3 kilogram elpiji sudah diberikan gratis oleh pemerintah. Kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji itu memang bertujuan baik, yaitu mengurangi subsidi minyak tanah untuk keperluan rumah tangga yang nilainya sekitar Rp 30 triliun. Tapi sayang, dalam menentukan kebijakan tersebut, pemerintah telah melakukan beberapa kesalahan mendasar sehingga kebijakan konversi itu akhirnya menimbulkan problem di masyarakat. Sejak awal, misalnya, pemerintah tidak konsisten dalam menentukan kebijakan konversi minyak tanah. Terbukti, gagasan konversi minyak tanah ke batu bara yang saat itu sudah mulai dikampanyekan tiba-tiba dibatalkan begitu saja.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, medio 2006, tiba-tiba menyatakan bahwa konversi ke batu bara diganti ke elpiji. Pergantian konversi secara tiba-tiba itu tidak hanya mengejutkan masyarakat yang sudah mulai bersiap-siap mengganti minyak tanah ke batu baru, tapi juga mengecewakan para perajin tungku batu bara dan para peneliti yang telah berhasil membuat tungku batu bara modern, yang bisa mengatur nyala api dan menghemat pemakaian batu bara. Di sejumlah pameran, misalnya, kreativitas masyarakat membuat tungku batu bara sudah mulai bermunculan guna menyambut era konversi minyak tanah ke batu bara itu.
Beberapa peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan perguruan tinggi, seperti di Universitas Sriwijaya, Palembang, telah berhasil membuat alat sederhana untuk mencairkan batu bara. Batu bara cair ini harganya lebih murah daripada minyak tanah dan sangat mudah pemakaiannya, sama seperti pemakaian minyak tanah. Baiknya lagi, semua jenis batu bara--baik yang muda (kadar karbonnya rendah) maupun yang tua (kadar karbon tinggi), bisa dicairkan. Dan batu cair ini ternyata tidak hanya bisa dipakai sebagai pengganti minyak tanah, tapi juga pengganti solar. Bahkan dengan sedikit treatment kimia, batu bara cair pun bisa diubah jadi premium.
Seandainya saja saat itu kebijakan konversi minyak tanah ke batu bara terus berjalan, niscaya masyarakat akan lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan energinya. Kompor-kompor batu bara, misalnya, tidak hanya bisa dipakai untuk membakar briket batu baru, tapi juga membakar briket arang kayu-kayuan, arang batok, dan lain-lain. Tapi sayang, suasana yang sudah tepat itu tiba-tiba dibatalkan secara mendadak oleh Jusuf Kalla. Apa motif di balik pembatalan konversi minyak tanah ke batu bara memang perlu diselidiki untuk mengetahui kenapa kebijakan yang sudah positif itu dibatalkan. Konversi permakaian minyak tanah ke elpiji bagi masyarakat kecil niscaya akan menimbulkan banyak masalah. Hal ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, dari aspek fisik. Minyak tanah bersifat cair sehingga transportasinya mudah, pengemasannya mudah, dan penjualan sistem eceran pun mudah. Masyarakat kecil, misalnya, bisa membeli minyak tanah hanya 0,5 liter (katakanlah Rp 1.500 dengan harga subsidi) dan mereka dapat membawanya sendiri dengan mudah. Minyak tanah 0,5 liter bisa juga dimasukkan ke plastik. Kondisi ini tak mungkin bisa dilakukan untuk pembelian elpiji. Ini karena elpiji dijual per tabung, yang isinya 3 kg, dengan harga Rp 14.500-15.000. Masyarakat jelas tidak mungkin bisa membeli elpiji hanya 0,5 kg, lalu membawanya dengan plastik atau kaleng susu bekas.
Kedua, dari aspek kimiawi. Elpiji jauh lebih mudah terbakar (inflammable) dibanding minyak tanah. Melihat perbedaan sifat fisika dan kimia (minyak tanah dan elpiji) tersebut, kita memang layak mempertanyakan sejauh mana efektivitas dan keamanan kebijakan konversi tersebut. Keluhan masyarakat Dalam sebuah kunjungan ke daerah-daerah yang--konon menurut pemerintah—sudah diberi tabung elpiji gratis, kami menemukan berbagai keluhan masyarakat. Sejak adanya kebijakan konversi itu, minyak tanah menghilang dari pasar. Kalaupun ada, harganya sangat tinggi, sehingga mereka tak sanggup membelinya. Sementara itu, kalau mau beli gas, mereka harus membeli 3 kg atau satu tabung yang harganya berkisar Rp 15 ribu.
Kondisi ini tampaknya belum diperhatikan pemerintah. Bagi rakyat kecil, membeli bahan bakar Rp 15 ribu sangat memberatkan, karena penghasilan mereka tiap hari hanya cukup untuk makan sehari, bahkan terkadang kurang. Ini berbeda dengan minyak tanah yang bisa dibeli eceran, satu atau bahkan setengah liter sekalipun. Dari aspek ini, kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji akan menimbulkan masalah seperti yang disebutkan di atas. Pemerintah kurang peka melihat kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besar penghasilannya pas-pasan. Mestinya, kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji dilakukan secara selektif. Masyarakat kecil tetap dibiarkan memilih untuk sementara waktu, apakah menggunakan minyak tanah atau elpiji, yang kedua-duanya disubsidi.
Sementara itu, masyarakat yang mampu diharuskan memakai elpiji. Untuk itu, perlu ada pendataan penduduk miskin yang akurat di tiap-tiap wilayah agar pemberian
subsidi tersebut tepat sasaran. Jika alasannya untuk mengurangi subsidi dan memanfaatkan gas produksi dalam negeri guna memenuhi kebutuhan energi nasional, kenapa pemerintah tidak mengkonversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD, yang memakai solar) dengan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG). Konversi dari PLTD ke PLTG ini cukup sederhana, tinggal menambah alat converter di mesin-mesin pembangkit listrik. Bahkan sebagian mesin di PLTD bisa dioperasikan dengan solar ataupun gas. Saat ini, misalnya, akibat pemakaian solar, subsidi pemerintah untuk PLN mencapai Rp 25 triliun. Jika memakai gas, subsidi itu nyaris nol dan pemerintah bias mengkonversi subsidi tersebut untuk membangun pusat-pusat pembangkit listrik di wilayah-wilayah lain yang kekurangan pasokan listrik.
Di luar Jawa dan daerahdaerah terpencil, misalnya, pasokan listrik ke masyarakat masih jauh dari memenuhi. Di Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat, misalnya, PLN hanya memenuhi 18,72 persen kebutuhan listrik masyarakat. Di Kabupaten Pasaman Barat, kebutuhan listrik masyarakat hanya terpenuhi 35,75 persen. Secara nasional, misalnya, PLN hanya memasok listrik 54 persen dari kebutuhan penduduk Indonesia. Ini artinya, jika prioritas konversi itu diberikan kepada PLN dulu, niscaya akan banyak membantu meningkatkan perekonomian masyarakat. Studi yang dilakukan Japan International Cooperation Agency di wilayah lereng Gunung
Halimun, Jawa Barat, menunjukkan tingkat perkembangan perekonomian masyarakat akibat masuknya jaringan listrik di pedesaan mencapai lebih dari 30 persen. Ini terjadi karena listrik tidak hanya menerangi jalan, tapi juga menjadikan masyarakat bias mengikuti acara radio, TV, dan lain-lain sehingga membuka wawasan mereka dan mengerti akses pasar untuk menjual produk-produk hasil buminya. Karena itu, untuk masyarakat pedesaan di lereng-lereng pegunungan, apakah mereka bisa dipaksa memakai tabung gas? Seberapa besar manfaat tabung gas tersebut? Jelas, tidak! Kebutuhan mereka jelas bukan tabung gas, melainkan listrik. Mereka lebih baik memakai tungku yang bisa dipakai untuk membakar kayu, batu bara, atau briket. Semua bahan bakar tersebut mudah diperoleh di desa secara gratis dan bisa dibuat sendiri. Tapi listrik? Mereka sangat membutuhkannya untuk berbagai kebutuhan, baik penerangan maupun informasi melalui media elektronik (TV dan radio).
Dengan demikian, mestinya kebijakan konversi gas tersebut perlu ditinjau ulang dan direvisi secara komprehensif. Dalam kaitan ini, kondisi masyarakat dan peta social ekonomi wilayah yang bersangkutan mestinya dikaji terlebih dulu oleh pemerintah sebelum menetapkan kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji di atas.
Ketetapan MPR RI tentang rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan KKN.
Ketetapan MPR RI tentang rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan KKN.
Rekomendasi Arah Kebijakan ini dimaksudkan untuk mempercepat dan lebih menjamin efektivitas pemberantasan KKN sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN serta berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait.
Arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah :
1)Mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintahan terutama aparat penegak hukum danpenyelenggara negara yang diduga melakukan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dapat dilakukan tindakan administratif untuk memperlancar proses hukum.
2)Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi dimasa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya.
3)Mendorong partisipasi masyarakat luas dalam mengawasi dan melaporkan kepada pihak yang berwenang berbagai dugaan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara dan anggota masyarakat.
4)Mencabut, mengubah, atau mengganti semua peraturan perundang-undangan serta keputusan-keputusan penyelenggara negara yang berindikasi melindungi atau memungkinkan terjadinya KKN.
5)Merivisi semua peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan korupsi sehingga sinkron dan konsisten satu dengan yang lainnya.
6)Dengan membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi :
a. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
b. Perlindungan Saksi dan Korupsi;
c. Perlindungan Terorgnisasi;
d. Kebebasan Mendapat Informasi;
e. Etika Pemerintah;
f. Kejahatan Pencucian Uang;
g. Ombudsmen.
Rekomendasi arah kebijakan ini ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia dan lembaga-lembaga tingginegara lainnya untuk dilaksanakan sesuai dengan peran, tugas dan fungsi masing-masing, dan dilaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Rekomendasi Arah Kebijakan ini dimaksudkan untuk mempercepat dan lebih menjamin efektivitas pemberantasan KKN sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN serta berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait.
Arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah :
1)Mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintahan terutama aparat penegak hukum danpenyelenggara negara yang diduga melakukan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dapat dilakukan tindakan administratif untuk memperlancar proses hukum.
2)Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi dimasa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya.
3)Mendorong partisipasi masyarakat luas dalam mengawasi dan melaporkan kepada pihak yang berwenang berbagai dugaan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara dan anggota masyarakat.
4)Mencabut, mengubah, atau mengganti semua peraturan perundang-undangan serta keputusan-keputusan penyelenggara negara yang berindikasi melindungi atau memungkinkan terjadinya KKN.
5)Merivisi semua peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan korupsi sehingga sinkron dan konsisten satu dengan yang lainnya.
6)Dengan membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi :
a. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
b. Perlindungan Saksi dan Korupsi;
c. Perlindungan Terorgnisasi;
d. Kebebasan Mendapat Informasi;
e. Etika Pemerintah;
f. Kejahatan Pencucian Uang;
g. Ombudsmen.
Rekomendasi arah kebijakan ini ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia dan lembaga-lembaga tingginegara lainnya untuk dilaksanakan sesuai dengan peran, tugas dan fungsi masing-masing, dan dilaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Fungsi MPR Pelaksanaanya
Fungsi MPR :
a)Sebagai lembaga perwakilan rakyat yang mengawasi jalanya pemerintahan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan eksekutif agar kekuasaan pemerintah tidak menindas rakyat sehingga kekuasaan yidak dijalankan secara sewenan-wenang.
a)Sebagai pemegang kekuasaan legislatif untuk menjalankan keinginan rakyat yang diinterpretasikan dalam undang-undang dan juga sebagai pembuat undang-undang dasar.
b)Fungsi untuk membuat keputusan yang sifatnya non legislatif. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh majelis dengan suara terbanayak
c)Lain-lain fungsi yang diatur dengan tegas oleh UUD. Fungsi tersebut anatra lain: mencabut mandat dan memberhentikan presiden apabila sungguh-sungguh melanggar GBHN, meengatur tata tertib majelis, menafsirkan UUD dan GBHN.
d)Menetapkan pimpinan majelis yang dipimpin dari dan oleh anggotanya.
e)Mengambil atau memberi keputusan terhadap anggota yang meanggar sumpah atau janji anggota.
Pelaksanaanya
Permasalahan dalam pelaksanaanya adalah bahwa permasalahan KKN yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius dan kejahatan yang luar biasa dn menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Sejak tahun 1998, masalah pemberantasan dan pencegahan KKN telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia sebagai salah satu agenda reformasi, tetapi belum menunjukkan arah perubahan dan hasil sebagaimana diharapkan. Desakan kuat masyarakat yang menginginkan terwujudnya berbagai langkah nyata oleh pemerintah dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya dalam hal pemberantasan dan pencegahan KKN. Bahwa pembaharuan komitmen dan kemauan politik untuk memberantas dan mencegah KKN memerlukan langkah-langka percepatan. Sehubungan dengan hal tersebut perlu adanya Ketetapan MPR Republik Indonesia tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
a)Sebagai lembaga perwakilan rakyat yang mengawasi jalanya pemerintahan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan eksekutif agar kekuasaan pemerintah tidak menindas rakyat sehingga kekuasaan yidak dijalankan secara sewenan-wenang.
a)Sebagai pemegang kekuasaan legislatif untuk menjalankan keinginan rakyat yang diinterpretasikan dalam undang-undang dan juga sebagai pembuat undang-undang dasar.
b)Fungsi untuk membuat keputusan yang sifatnya non legislatif. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh majelis dengan suara terbanayak
c)Lain-lain fungsi yang diatur dengan tegas oleh UUD. Fungsi tersebut anatra lain: mencabut mandat dan memberhentikan presiden apabila sungguh-sungguh melanggar GBHN, meengatur tata tertib majelis, menafsirkan UUD dan GBHN.
d)Menetapkan pimpinan majelis yang dipimpin dari dan oleh anggotanya.
e)Mengambil atau memberi keputusan terhadap anggota yang meanggar sumpah atau janji anggota.
Pelaksanaanya
Permasalahan dalam pelaksanaanya adalah bahwa permasalahan KKN yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius dan kejahatan yang luar biasa dn menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Sejak tahun 1998, masalah pemberantasan dan pencegahan KKN telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia sebagai salah satu agenda reformasi, tetapi belum menunjukkan arah perubahan dan hasil sebagaimana diharapkan. Desakan kuat masyarakat yang menginginkan terwujudnya berbagai langkah nyata oleh pemerintah dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya dalam hal pemberantasan dan pencegahan KKN. Bahwa pembaharuan komitmen dan kemauan politik untuk memberantas dan mencegah KKN memerlukan langkah-langka percepatan. Sehubungan dengan hal tersebut perlu adanya Ketetapan MPR Republik Indonesia tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
Tugas dan Wewenang, MPR antara lain:Tugas dan Wewenang, MPR antara lain:
Tugas dan Wewenang, MPR antara lain:
Mengubah dan menetapkan (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945), (Undang-Undang Dasar)
Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum
Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan (Mahkamah Konstitusi) untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam masa jabatannya
Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya
Memilih Wakil Presiden dari 2 calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya
Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya
Mengubah dan menetapkan (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945), (Undang-Undang Dasar)
Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum
Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan (Mahkamah Konstitusi) untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam masa jabatannya
Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya
Memilih Wakil Presiden dari 2 calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya
Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya
Contoh konkrit penyelenggaraan pemerintahan yang mencerminkan petentangan dengan Pancasila.
Contoh konkrit penyelenggaraan pemerintahan yang mencerminkan petentangan dengan Pancasila.
Dalam kehidupan politik, terlihat kesan kuat bahwa telah timbul apa yang pernah disebut dan dikhawatirkan oleh dr. Mohammad Hatta sebagai suatu ultra demokrasi. Walaupun lembaga legislatif serta lembaga eksekutif telah dipilih secara demokratis, namun demonstrasi ke jalan-jalan bukan saja tidak berhenti, tetapi sudah menjadi suatu hal yang terjadi secara rutin. Tiada hari tanpa demonstrasi. Partai-partai politik yang seyogyanya berfungsi sebagai lembaga demokrasi yang mengagregasi serta mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat serta sebagai wahana untuk seleksi kepemimpinan ditengarai hanya asyik dengan dirinya sendiri dan telah mulai kehilangan kepercayaan dari rakyat.
2. Coba deskripsikan kedudukan, wewenag, dan fundsi kelembagaan negara selain DPR. Lalu bagaimana pelaksanaan dari lembaga tersebut, ap permasalahanya dan bagaimana solusinya.
Kedudukan MPR Setelah Perubahan (Amandemen) UUD 1945
Perubahan (Amandemen) UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksanaan sepenuhnya kedaulatan rakyat, kini MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya seperti Lembaga Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK.
MPR juga tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN. Selain itu, MPR tidak lagi mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR), kecuali yang berkenaan dengan menetapkan Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila terjadi kekosongan Wapres, atau memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama. Hal ini berimplikasi pada materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR yang telah dihasilkan sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 2002.
Saat ini Ketetapan MPR (TAP MPR) tidak lagi menjadi bagian dari hierarki Perundang-undangan.
Dalam kehidupan politik, terlihat kesan kuat bahwa telah timbul apa yang pernah disebut dan dikhawatirkan oleh dr. Mohammad Hatta sebagai suatu ultra demokrasi. Walaupun lembaga legislatif serta lembaga eksekutif telah dipilih secara demokratis, namun demonstrasi ke jalan-jalan bukan saja tidak berhenti, tetapi sudah menjadi suatu hal yang terjadi secara rutin. Tiada hari tanpa demonstrasi. Partai-partai politik yang seyogyanya berfungsi sebagai lembaga demokrasi yang mengagregasi serta mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat serta sebagai wahana untuk seleksi kepemimpinan ditengarai hanya asyik dengan dirinya sendiri dan telah mulai kehilangan kepercayaan dari rakyat.
2. Coba deskripsikan kedudukan, wewenag, dan fundsi kelembagaan negara selain DPR. Lalu bagaimana pelaksanaan dari lembaga tersebut, ap permasalahanya dan bagaimana solusinya.
Kedudukan MPR Setelah Perubahan (Amandemen) UUD 1945
Perubahan (Amandemen) UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksanaan sepenuhnya kedaulatan rakyat, kini MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya seperti Lembaga Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK.
MPR juga tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN. Selain itu, MPR tidak lagi mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR), kecuali yang berkenaan dengan menetapkan Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila terjadi kekosongan Wapres, atau memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama. Hal ini berimplikasi pada materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR yang telah dihasilkan sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 2002.
Saat ini Ketetapan MPR (TAP MPR) tidak lagi menjadi bagian dari hierarki Perundang-undangan.
Langganan:
Postingan (Atom)