Rabu, 08 Desember 2010

Rasio Efisiensi Manajemen Publik tentang Satpol PP (Studi kasus pada PKL)

BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Belakangan ini,gerak langkah gerakan satuan pamong praja (Satpol PP) tidak pernah luput dari perhatian publik, mengingat segala aktivitasnya dengan mudah diketahui melalui pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik. Sayangnya, image yang terbentuk di benak masyarakat atas sepak terjang aparat Sat Pol PP sangat jauh dari sosok ideal, yang sejatinya menggambarkan aparatur pemerintah daerah yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, Hak Asasi Manusia dan norma-norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Munculnya gambaran miring terhadap sosok aparat Polisi Pamong Praja (Pol PP) tidak lain dan tidak bukan, karena seringnya masyarakat disuguhi aksi-aksi represif, namun terkesan arogan dari aparat daerah tersebut saat menjalankan perannya dalam memelihara dan menyelenggarakan keamanan dan ketertiban umum. Pembongkaran bangunan liar, penertiban pedagang kaki lima, PSK dan gelandangan, yang sering berujung bentrokan fisik, merupakan gambaran keseharian yang sering disuguhkan oleh aparat Pol PP, sekalipun tindakan-tindakan represif tersebut hanyalah sebagian dari fungsi dan peran Pol PP, sebagai pengemban penegakan hukum non yustisial di daerah. Karena itu, tidak berlebihan apabila kemudian masyarakat mencap aparat Pol PP sebagai aparat yang kasar, arogan, penindas masyarakat kecil, serta sebutan-sebutan lain yang tidak enak didengar.

Ditambah dengan peran media massa yang sering membumbuinya dengan beritaberita sensasional, makin miringlah penggambaran tentang Satpol PP. Terlepas dari benar tidaknya gambaran masyarakat tentang Sat Pol PP, dalam tulisan ini saya mencoba untuk menyegarkan ingatan kita tentang bagaimana sejatinya fungsi dan peran Pol PP dalam rangka pembinaan keamaman dan penegakan hukum. Gambaran ini penting untuk dikemukakan guna diperolehnya kesamaan pandangan, baik dari masyarakat, Sat Pol PP, maupun pemangku kepentingan lainnya mengenai sosok Sat Pol PP yang sesungguhnya.



Harus diakui, pada awal berdirinya di Yogyakarta pada tanggal 3 Maret 1950, Sat Pol PP telah memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi konsolidasi dan stabilitas teritorial pada daerah-daerah yang baru diamankan angkatan perang. Saat itu tugas-tugas yang berada di luar bidang kepolisian negara merupakan masalah spesifik yang ditangani oleh Polisi Pamong Praja, salah satunya menangani bidang pemerintahan umum, khususnya dalam pembinaan ketenteraman dan ketertiban di daerah. Karena itu, tidaklah bijaksana apabila kita memandang bahwa peran dan fungsi Pol PP dalam menyelenggarakan keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan peran yang berlebihan seakan-akan hendak mengambil alih peran Polri.

Sebaliknya, antara Polri dengan Sat Pol PP harus terjalin sinergitas dalam upaya menjaga dan memelihara Kamtibmas, sebagaimana dengan jelas dinyatakan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan Polri bertugas melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

Diberikannya kewenangan pada Sat Pol PP untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat bukanlah tanpa alasan. Namun, didukung oleh dasar pijakan yuridis yang jelas, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 13 dan Pasal 14 pada huruf c, yang menyebutkan: urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah meliputi penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Demikian pula dalam Pasal 148 dan Pasal 149 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan dibentuknya Satuan Polisi Pamong Praja untuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum serta katentraman masyarakat. Dengan melihat pada kewenangan yang diberikan kepada Sat Pol PP, tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan Satpol PP sangat penting dan strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan lingkup tugasnya.

Dari segi hukum dan kepentingan penertiban tata kota, kehadiran PKL yang sering kali sampai memakan separuh badan jalan dan menduduki tanah-tanah kosong tanpa izin resmi jelas melanggar hukum dan mengganggu ketertiban. Suasana kumuh, semrawut, bergelantungan spanduk yang tak beraturan, tikar-tikar yang berserakan, semuanya mungkin terasa tak sedap dipandang mata. Tetapi, sekadar menggusur PKL dan menyita barang dagangan mereka tanpa ditindaklanjuti dengan berbagai bentuk pembinaan dan penanganan yang komprehensif, niscaya tak akan pernah menyelesaikan masalah. Untuk menata PKL dengan baik dibutuhkan sebuah konsep penanganan yang benar-benar komprehensif dan menyentuh akar persoalan yang sebenarnya.

Permasalahan PKL bukan hanya permasalahan pemerintah kota Surabaya dan pedagang kaki lima. Akan tetapi merupakan masalah masyarakat umum. Hal ini dikarenakan keberadaan PKL telah mengganggu ketertiban lalu lintas yang dapat menyebabkan kecelakaan dan fasilitas umum tidak dapat digunakan secara optimal. Misalnya, Jalan Pahlawan kini disesaki kaum PKL yang menimbulkan kesemerawutan kota. Namun bila pedagang kaki lima digusur begitu saja, masyarakat pun akan sulit memenuhi kebutuhan mereka yang biasanya disediakan oleh pedagang kaki lima tersebut. Sedangkan bagi pemerintah kota Surabaya, kebijakan yang dikeluarkannya belum dapat diterapkan dengan baik. Tujuan untuk menciptakan sebuah kota yang indah, tertib dan teratur belum dapat terpenuhi karena keberadaan mereka, sedangkan pemerintah sendiri belum dapat memberikan solusi yang tepat bagi persoalan PKL.

PKL umumnya adalah self employed artinya mayoritas pedagang kaki lima hanya terdiri dari satu tenaga kerja. Modal yang digunakan relatif tidak terlalu besar dan terbagi atas modal tetap berupa peralatan dan modal kerja. Dana tersebut jarang sekali dipenuhi dari lembaga keuangan resmi, biasanya berasal dari sumber dana illegal atau supplier yang memasok barang dagangan. Sedangkan sumber dana tabungan pribadi sangat sedikit. Ini berarti hanya sedikit dari mereka yang dapat menyisihkan hasil usahanya dikarenakan rendahnya tingkat keuntungan dan cara pengelolaan uang sehingga kemungkinan untuk mengadakan inventaris modal maupun eksplorasi usaha sangt kecil.

Keberadaan pedagang kaki lima sebagai bagian dari usaha sektor informal memiliki potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja, terutama bagi tenaga kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai untuk bekerja disektor formal karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. Selain itu PKL juga berperan penting sebagai penyediaan barang dagangan yang dibutuhkan oleh masyarakat Surabaya mengingat harga yang ditawarkan lebih terjangkau sehingga masyarakat Surabaya lebih memilih membeli pada PKL dari pada di mal, grosir di surabaya.

Untuk mengurangi perkembangan jumlah PKL yang berlebihan di berbagai wilayah, ada baiknya jika berbagai dinas dan jajaran aparat di lingkungan pemerintah kabupaten/kota tidak melulu terjebak pada pendekatan yang sifatnya represif dan kuratif. Melainkan juga mencoba mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan kecamatan.

Pengalaman selama ini seperti yang terjadi di Gresik, Surabaya, dan wilayah yang lain sudah membuktikan bahwa bentuk-bentuk penindakan atau operasi penertiban yang sifatnya represif umumnya hanya melahirkan pembangkangan dan daya resistensi para PKL. Sedangkan pendekatan yang kuratif biasanya tidak efektif karena perkembangan jumlah PKL di suatu wilayah yang telanjur kronis umumnya sulit ditertibkan. Di Surabaya, kesemrawutan yang terjadi di wilayah Kapasari dan sekitar Pasar Keputran adalah salah satu contoh yang bisa disebut.

1 komentar: